KAJIAN TAFSIR AYAT ZAKAT


I.       PENDAHULUAN
Untuk memahami ketetapan hukum atas suatu perkara dalam nash Al-Qur’ân, ketika ayat-ayat yang dijadikan dasar di dalamnya  masih bersifat mujmâl maka  perlu adanya sebuah kajian yang disebut tafsir. Yaitu mentafsirkan ayat berdasarkan sumber-sumber yang otentik dan terpercaya.
Berhubungan dengan zakat, di dalam Al-Qur’ân disebutkan banyak ayat yang menunjukkan perintah wajibnya, Baik yang diungkapkan secara tegas dan langsung dengan shighât amar, atau dengan ungkapan berbentuk ancaman bagi yang tidak menunaikannya, maupun dalam bentuk ungkapan lain yang mengarah pada perintah. Dan zakat sendiri dalam Al-Qur’an maupun hadits sering juga diistilahkan dengan lafadz; صدقة  , حقّ atau نفقة yang disertai qarinah, dan  yang dimaksud adalah shadaqah wâjibah, haqq wâjib dan nafaqah wâjibah yang khusus diberikan kepada ashnâf delapan.
Akan tetapi pada umumnya ayat-ayat tersebut masih bersifat mujmal. Dengan demikian, perlu adanya penjelasan dari sumber-sumber lain yang menjelaskannya. Dalam hal ini peran Nabi sebagai Mubayyin Al-Qur’ân dan para Ulama Tafsir sangatlah dibutuhkan. Ini penting untuk menjelaskan; ketentuan apa saja yang harus dizakati; waktu dan bagaimana tata cara pembayarannya; seberapa banyak kadarnya yang harus dikeluarkan, dan lain sebagainya.
Secara khusus makalah ini membahas beberapa ayat penting yang biasa dijadikan dasar atas wajibnya zakat dalam Islam, dengan tafsir dan asbâb an-nuzûl yang dijadikan dasar pertimbangan dalam mengambil istimbâth hukum dalam nash, serta penjelasannya berdasarkan argumentasi dan perbedaan pendapat para ulama, yang penulis kutip dari beberapa literature tafsir dan kitab-kitab Fiqih baik klasik maupun kontemporer.
II.    PEMBAHASAN
A.    KEWAJIBAN MEMBAYAR ZAKAT
Surat At-Taubah Ayat : 103 ;

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَ تُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَ صَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلوتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ، وَ اللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ .

Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah : 103)
1.      Sabab Nuzul Ayat
Diantara penduduk Madinah, terdapat segolongan orang-orang munafik (seperti halnya Abdullah bin Ubay dan kawan-kawan), kemunafikan mereka sudah keterlaluan sehingga Nabi SAW tidak mengetahuinya, karena kepandaian mereka menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keihlasan. Tetapi Allah Maha mengetahui segala yang mereka tampakkan maupun yang mereka rahasiakan dalam hati, Allah membongkar rahasia itu. Mereka diancam dengan siksaan dua kali lipat oleh Allah SWT. Ketika tiba perintah saatnya perang mereka-mereka selalu beralasan dan bahkan mlipèr tidak ikut dalam satuan perang.
Setelah peristiwa perang tabuk ada segolongan diantara mereka (penduduk Madinah) – seperti Abu Lubab Marwan bin Abi Mundzir Aus Bin Tsa’labah, dan Wadi’ah bin Hazam – sadar dan mengakui segala dosa-dosanya, mereka menyatakan penyesalan sebab kesalahan yang telah mereka perbuat, mencampur baurkan yang  baik dan buruk dalam tiap-tiap perang bersama Rasulullah SAW, dan terakhir karena penyelewengan mereka tidak ikut perang Tabuk.[1]
Dalam sebuah kisah yang driwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, bahwa ketika orang-orang yang mengakui dosa-dosanya itu diterima taubatnya oleh Allah mereka mendatangi Nabi dengan membawa harta-harta yang mereka miliki dan berkata ; “Wahai Rasul Allah, harta-harta kami ini yang menjadikan kami berpaling, maka sedekahkanlah harta ini dan mohonkanlah kami ampunan”. Rasulullah SAW menjawab : “Aku sama sekali tidak diperintah untuk mengambil harta-harta kalian itu”. Maka turunlah Ayat diatas. Kemudian Rasulullah SAW mengambil 1/3 dari harta mereka.[2]
2. Tafsir & Analisis Bahasa
a)      خذ من أموالهم صدقة ; ambillah (wahai Muhammad) sebagian dari harta mereka (orang-orang yang mengakui dosa-doasanya dan bertaubat dari padanya) sebagai shadaqah. Khitâb dari amar di sini Rasulullah SAW. Huruf (مِنْ) berfungsi littab’îdl, karena shadaqah yang difardlukan tidaklah semua harta. Kata (أموالهم) disebutkan dalam bentuk jama’, mencakup semua jenis harta, dan dlamîr (هُم) bersifat umum, kembali kepada seluruh kaum muslimin. Sedangkan (صدقة) yang diperintahkan itu ialah shadaqah fardlu ; yakni zakat.[3] Jadi, ayat ini menunjukkan wajibnya diambil zakat sebagian dari harta-harta kaum muslimin secara keseluruhan karena kesamaan mereka dalam hukum agama.
Bagi Mufassir yang berkelit dengan asbâb al-nuzûl, maka dlamîr (هُمْ) diberlakukan khusus untuk orang-orang yang bertaubat dan tidak ikut serta dalam perang Tabuk seperti dalam peristiwa di atas, dan yang dimaksud dari (صدقة) dalam ayat tersebut adalah hak sebagai kaffârah (tebusan) setelah mereka bertaubat, bukan sebagai zakat  fardlu.[4]
b)      تطهّرهم ; dibaca rafa’, menerangkan sifat dari lafadz (صدقة) . huruf (ت) tâ’ ta’nist ghaibah dan dlamîr mustatîr-nya lafadz (صدقة), jadi artinya; “yang membersihkan mereka”. Atau jika ta’ tersebut untuk khitâb dan ‘âid yang terbuang menunjuk pada lafadz sebelumnya, kalau di nampakkan berbunyi ; (تطهّرهم بها), artinya; “yang dengan shadaqah itu engkau membersihkan mereka”. Atau bisa pula kalimat tersebut sebagai hâl dari dlamîr mukhatab.
c)       و تزكّيهم بها ; mensucikan diri atau harta mereka. dalam artian bertambah keberkahnya. Dengan kata lain, adanya shadaqah itu harta mereka menjadi bersih, dan merupakan hak Allah terhadap orang-orang fakir yakni berupa zakat. Jika jumlah ini athâf  pada lafadz sebelumnya maka huruf (ت) adalah tâ’ ta’nist ghaibah atau bisa mukhâtab. Jika berdasarkan bacaan jazm pada lafadz (تطهّرهم) maka  huruf (و) di sini sebagai permulaan kalimat (isti’nâfiyah), maksudnya : و أنت تزكّيهم .
d)     و صلّ عليهم ; berdo’alah dan mohonlah ampunan untuk mereka (dari segala dosa-dosa). Secara bahasa (صلاة) berarti do’a, Orang yang menerima zakat - dalam hal ini Rasulullah – diperintah untuk mendo’akan mereka yang memberikannya.
e)      إنّ صلاتك ; sesungguhnya doamu (Muhammad). Dibaca dalam bentuk mufrâd,[5] ada sebagian yang membaca (إنّ صلواتك), dalam shighât jamâ’.
f)       سكن لهم ; ketenangan, kasih sayang dan kemulyaan bagi mereka. (سكن)  bisa berarti apa saja yang dapat membuat perasaan menjadi tenang dan jiwa menjadi tentram. Ayat ini menunjukkan anjuran mendoakan mereka.
g)      و الله سميع عليم ; Allah Maha mendengar atas do’â-do’â mu, Maha mengetahui siapa yang berhak dan pantas menerima shadaqah (zakat) dari mu.[6]
3. Munasabah Ayat
Ayat 103 dari surat At-Taubah di atas merupakan rentetan peristiwa yang dijelaskan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dari ayat sebelumnya yaitu ;
و ممن حولكم من الأعراب منافقون ومن أهل المدينة مردوا على النّفاق لا تعلمهم نعلمهم، سنعذّبهم مرّتين ثم يردّون إلى عذاب عظيم. و آخرون اعترفوا بذنوبهم خلطوا عملا صالحاو أخرون سيئا عسى الله أن يتوب عليهم، إنّ الله غفور الرّحيم.  

Artinya : “Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) kamilah yang mengetahui mereka. nanti mereka akan kami siksa dua kali Kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar. Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima Taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. At-Taubah : 101-102)
Ayat ini mengungkap tentang keadaan orang-orang munafik Madinah, dimana diantara mereka ada segolongan yang kemunafikannya telah mencapai tingkat kakap sehingga Rasulullah SAW tidak mengetahuinya. Sementara, yang lain ada kemunafikannya setengah-setengah mereka mencampur adukkan kebenaran dan kesalahan, berbuat taat ketika dipandang menguntungkan, dan berbuat maksiat ketika dipandang merugikan. Setiap kali diseru untuk perang mereka selalu enggan dan menghindar dengan alasan yang bermacam-macam. Pada akhirnya ketika rahasia mereka terbongkar, mereka menyatakan bersalah dan taubat. Ketika taubatnya diterima mereka hendak menebus diri, dan menyerahkan harta-hartanya yang membuat mereka menyeleweng itu kepada Rasulullah, namun Rasulullah SAW enggan menerimanya. Maka turunlah ayat 103.
Oleh karena ayat di atas bersifat umum (mujmâl), maka mengundang beberapa penafsiran yang berbeda di kalangan ulama. Seperti dalam memaknai lafadz  (صدقة) atau kembalinya dhamîr هُمْ misalnya. Bagi ulama yang menggunakan prinsip; (العبرة بخصوص السّبب لا بعموم اللّفظ) , maka ayat tersebut kontek shadaqah tersebut khusus dalam peristiwa yang melatarbelakanginya, bukan dimaksudkan sebagai zakat yang difardlukan untuk kaum muslimin secara umum. Bagi golongan ini sabâb an-nuzûl menjadi pengikat untuk memahami hukum yang dikandungnya.
Sedangkan yang memegangi prinsip;(العبرة بعموم اللّفظ لا  بخصوص السّبب)   bagi sejumlah Ulama ushul, menyatakan bahwa kewajiban itu tidaklah khusus pada mereka yang telah bertaubat dari dosa sebagaimana dalam dalam sabâb an-nuzûl, karena zakat merupakan kewajiban dalam Islam. Pendapat ini didukung oleh Imam Ath-Thabari, dan beliau menuqilnya dari sejumlah ahli Takwil. Hal ini juga diperkuat oleh banyak Mufassir yang memegangi pendapat pertama, bahwa yang dimaksudkan shadaqah dalam ayat itu adalah zakat. Demikian pula Jumhûr Salaf maupun Khalaf, dengan ayat tersebut mereka gunakan sebagai dasar atas sejumlah permasalahan hukum dalam bab-bab zakat.
Hubungan ayat sesudah dan sebelumnya tidaklah tetap kecuali berdasarkan dalil. Meski demikian, menurut para ulama ushul khususnya; dengan adanya sebab bukan berarti harus menafikan umumnya lafadz.[7] Secara zahir ayat di atas memang menghendaki diambilnya bagian dari tiap-tiap harta. Untuk memahaminya perlu ada korelasi dengan ayat-ayat lain yang sepadan, juga perlu adanya penjelasan hadits-hadits maupun sunnah Rasulullah SAW. Ini penting  untuk megetahui secara pasti mengenai rincian; berapa kadarnya yang ditentukan, batasan nishâb, waktu pelaksanaan dan jenis harta apa saja yang wajib dikeluarkan sebagai shadaqah wajib (zakat) atasnya.
4. Penjelasan
Surat At-Taubah ayat : 103 dengan munasabah sekian banyak ayat di atas menunjukkan bahwa setiap kaum Muslimin wajib menunaikan zakat. Dikhususkannya khitâb kepada Rasul dalam hal ini bukanlah berarti menunjukkan kekhususan hukum bahwa zakat hanya terhadap Rasul (yang menariknya), karena banyak hukum-hukum syara’ berlaku yang mana khithâb-nya kepada Rasul.[8] Hal ini karena Rasul adalah orang yang menyerukan risalah Allah dan sebagai penjelas apa yang dimaksudkannya, maka didahulukan penyebutannya supaya jalan bagi umat dalam syari’at agama sesuai dengan jalan yang ditempuhnya.[9]
Kepastian wajibnya zakat ini juga didasarikan pada ayat-ayat lain dalam AlQur’an yang menyebutkannya dengan shigât yang beragam. Diantaranya, zakat sering diistilahkan juga dengan kata صدقة  , حقّ atau نفقة . tetapi yang dimaksud adalah shadaqah wâjibah, haqq wâjib dan nafaqah wâjibah yang khusus diberikan kepada ashnâf delapan.
Seperti ayat mengenai wajibnya zakat emas dan perak menggunakan shigât infâq” ;

و الّذين يكنزون الذّهب و الفضّة ولا ينفقونها في سبيل الله فبشّرهم بعذاب أليم.

Artinya : “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (QS. At-Taubah : 34)
Dan shigâthaqq”, pada ayat mengenai wajibnya zakat tanaman atau buah-buahan ;

كلوا من ثمره إذا أثمر و ءآتوا حقّه يوم حصاده ولا تشرفوا ، إنّه لا يحبّ المسرفين.

Artinya : “Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (Al-An’am : 141)
Dan shigât زكاة” sendiri disebutkan tidak kurang dari 32 kali dalam Al-Qur’ân, seperti diantaranya dalam ayat ;

و أقيموا الصّلاة و ءاتوا الزّكاة و اركعو مع الرّاكعين.

Artinya : “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”. (QS. Al-Baqarah : 43)
Zakat merupakan salah satu dari Rukun Islam yang lima, Hukumnya fadlu ‘ain, wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat. Secara kronologis yang pertama-tama diwajibkan adalam shalat, kemudian datang perintah puasa di Madinah tahun kedua Hijriah, bersamaan dengan itu datang perintah zakat fitrah, dan menyusul kemudian zakat mal.
Demikian Rasulullah telah menjelaskan bahwa, Islam dibangun di atas lima pondasi; Syahadat, Shalat, zakat, Puasa, dan Haji. Sebagaimana sabda beliau :
بُنيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ  لاَ إلٰٰهَ إلَّا اللهُ وَ أَنَّ محَُمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَ إقَامِ الصَّلاَةِ ، وَ إِيْتاَءِ الزَّكَاةِ ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ ، وَ حِجِّ الْبَيْتِ لمَِِنْ اسْتَطَاعَ إلَيْهِ سَبِيْلاً . (متّفق عليه)
“Islam dibangun atas lima perkara : Persaksian bahwa sesungguhnya tiada Tuhan Selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadlan dan hajji ke Baitullah bagi yang mampu jalannya”. (HR. Bukhari Muslim)
Kelima rukun Islam itu antara satu dengan yang lain dan tidak boleh dipisah-pisahkan. Artinya seorang muslim tidak boleh hanya mengkhususkan diri dengan yang satu dan mengabaikan yang lain, seperti halnya mengerjakan shalat tetapi tidak membayar zakat, atau zakat ditinaikan  tetapi puasa ditinggalkan, atau haji dilaksanakan tapi shalat diterlantarkan, dan sebagainya. Jarang sekali perintah-perintah itu terpisah menyendiri dari yang lain. Kerena itu dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud ;
أُمِرْتُمْ بِإِقَامَةِ الصَّّلَاةِ وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَ مَنْ لَمَْ يُزَكِّ فَلَا صَلَاةَ لَهُ .
“Kalian diperintah untuk mengerjakan shalat dan membayar zakat, oleh karenanya siapa yang tidak berzakat maka tiada artinya baginya shalat”
Macam-Macam Zakat
Zakat terdiri dari dua macam : Zakât al-fthri (zakat diri/jiwa); dan Zakât al-mâl (zakat harta kekayaan);
1. Zakat fithrah
Zakat fithrah hukumnya wajib atas setiap Muslim merdeka yang mampu. Pada tiap-tiap diri zakatnya adalah 1 Shâ’ [10]  dari makanan pokok daerah setempat. Hal ini didasarkan pada riwayat dari  Ibnu Umar RA berkata ;

فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ قَمْحٍ أَوْ صَاعًا مِنْ سَعِيْرٍ عَلَى كُلِّ ذَكَرٍ وَ أُنْثٰى حُرِّ وَ عَبْدٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ .
“Rasulullah SAW menfardlukan zakat fitrah setelah puasa Ramadlan kepada orang Islam berupa  satu Shâ’ gandum atau satu Shâ’ kurama atau satu Shâ’ gandum atas setiap laki-laki ataupun perempuan, merdeka maupun hamba sahaya dari orang-orang Islam.
Berikut perbedaan pendapat ulama madzhab mengenai syarat  dan ketentuan zakat fithrah:
a)       Hanafiyah ; Zakat fithrah wajib dengan tiga syarat, yaitu : Islam, merdeka, dan memilik satu nishâb setelah wajibnya yang melebihi kebutuhan primer. Waktu wajibnya yaitu mulai terbit fajar pada hari raya idul fithri, boleh dibayar lebih dahulu dan boleh di akhir, karena waktu pembayaran zakat itu sepanjang umur, kendati demikian jika seseorang membayarnya pada waktu kapan pun, ia tetap disebut muaddîy (orang yang melaksanakan pada waktunya) bukan qâdiy (orang yang melaksanakan lepas dari waktunya) sebagaimana kewajiban-kewajiban lain yang muwassa’ah. Hanya saja di anjurkan sunnahnya sebelum keluar menuju shalat ‘îd. Zakat dikeluarkan dengan makanan pokok; gandum, kurma, atau anggur kering. Boleh zakat fithrah dibayar dengan qîmah-nya, diganti dengan uang misalnya, bahkan ini lebih utama, karena lebih banyak manfaatnya bagi fuqarâ. Boleh pula jamaah membayarkan kepada satu orang miskin sebagaimana boleh pula zakat satu orang dibayarkan pada orang-orang miskin. Dan ashnâf secara umum adalah senagaimana yang tersebut dalam surat At-Taubah ayat : 60. [11]
b)      Hanâbilah ; Zakat fithrah wajib mulai terbenamnya matahari pada malam ‘îdil fithri atas setiap orang Islam yang mendapati lebihan dari kebutuhan untuk makanan pokoknya dan untuk keluarganya pada hari dan malam ‘îdil fithri, setelah untuk keperluan tempat tinggal, pembantu, binatang piaraan (dâbah), pakaian sehari-harinya dan kitab untuk belajarnya. Yang wajib dizakati ialah dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya dalam nafkah. Jika tidak cukup untuk semuanya, maka di mulai dari dirinya sendiri kemudian yang lain sesuai dengan tertib dalam waris. Sunnah untuk janin dikeluarkan zakat untuknya. Boleh zakat dibayar dua hari sebelum id dan sebelum itu tidask boleh. Waktu yang afdlâl ialah pada hari ‘îd sebelum shalat, dan makruh pada waktu sesudahnya, jika ia mampu maka haram menunda pengeluarannya hingga lewat hari ‘îd, dan wajib meng-qadlâ’-nya. Orang yang terkena kewajiban wajib mengeluarkan zakat di tempat dimana ia berbuka pada akhir Ramadlan, begitu pula orang yang menjadi tanggungannya. Kadar yang dikeluarkan adalah satu Shâ’ gandum, jagung, kurma, anggur, atau uqth (makanan yang dibuat dari adonan susu), boleh berupa tepung jika sama timbangannya denagan biji-bijian. Jika tidak didapati semua itu maka boleh denga apa saja yang pantas dan bisa untuk makanan pokok. Zakat orang banyak boleh kepada satu orang. Dan pentasharufannya sebagaimana ketentuan zakat.[12]
c)       Syâfî’iyah ; Zakat fithrah wajib  bagi setiap orang Islam yang merdeka. Orang kafir wajib mengeluarkan zakatnya orang-orang muslim yang menjadi tanggunganya, jika ia mampu memenuhi kebutuhan pokok dirinya dan keluarganya pada hari dan malam ‘îdil fithri, yakni kebutuhan yang diperlukan sesuai kebisaaan yang berlaku, seperti makanan yang dipersiapkan untuk hari ‘îd, tempat tinggal, pakaian yang pantas dikenakan, perabot rumah, kitab-kitab yang diperlukan, dan kendaraan untuk dinaikinya. Wajib mengeluarkan zakat untuk dirinya dan orang yang di tanggung nafkahnya pada hari wajibnya zakat. Waktu wajibnya yaitu pada bagian akhir dari Ramadlan dan awal dari dari Sawal, sunnah dikeluarkan pada hari pertama setelah shalat shubuh dan sebelum shalat ‘îd, makruh megeluarkan setelah shalat ‘îd sampai terbenam matahari kecuali ada uzur, misalnya menunggu fakir yang dekat, dsb. Haram mengeluarkannya setelah matahari terbenam pada hari pertama Syawal kecuali karena uzur, misalnya sebab para mustahiqq-nya sedang tidak ada ditempat pada hari itu. Boleh mengeluarkan zakat mulai awal Ramadlan. Zakat harus dikeluarkan di daerah matahari terakhir terbenam pada akhir Ramadlan dimana ia berada, kecuali ia telah mengeluarkan sebelumnya di daerahnya sendiri.  Kadar yang wajib untuk zakat tiap-tiap individu adalah satu Shâ’ dari makanan pokok yang umum dikeluarkan untuk zakat, makanan yang dapat memberikan kekuatan yang diutamakan ialah sebangsa jagung, semua jenis gandum, jenis padi-padian, jenis kacang-kacangan, kurma, anggur, uqth, susu dan keju. tidak boleh dibayarkan dengan separoh-separoh (misalnya separoh dengan jagung dan separuh dengan gandum). Zakat fithrah tidak boleh dibayar dengan qîmah-nya. Jika seseorang mempunyai tanggungan membayarkan zakat banyak orang, kemudian ia tidak mampu maka dimulai dari dirinya sendiri, kemudian istrinya, anaknya yang belum baligh, bapaknya, ibunya, anaknya yang sudah baligh, dsb. Jika derajat mereka sama maka boleh memilih diantara mereka.[13]
d)      Mâlikiyah ; Zakat fithrah wajib atas setiap muslim merdeka yang mampu menunaikannya pada waktu wajibnya, baik zakat itu ada padanya atau memungkin ia hutang, orang yang sekranya bisa membayar terlebih dahulu sebelum waktu wajib dibilang sebagai orang yang mampu jika ia berharap untuk memenuhinya. Dan disyaratkan adanya kelebihan dari kebutuhan pokok, baik untuk dirinya maupun orang yang menjadi kewajibannya untuk memberi nafkah pada hari ‘îdl fithri. Kadar yang wajib dibayarkan adalah satu Shâ’, jika hanya mampu sebagiannya maka ya itu harus ditunaikan. Wajib untuk zakat dengan umumnya makanan pokok daerahnya diantara sembilan jenis makanan pokok, yaitu; semua jenis gandum, jagung, dakhn, beras, kurma, anggur, dan keju. Jika di daerahnya yang umum ada dua jenis makanan pokok maka muzakki memilih diantara keduanya, dan zakat tidak sah dikeluarkan dengan sesuatu yang bukan menjadi makanan pokok yang umum. Delapan ashnâf penerima zakat itu disyaratkan keadaannya fakir, miskin, merdeka, bukan dari Bani Hasyim, jika didapati Ibnu sabîl yang tidak miskin atau fakir maka dan sebagainya maka zakat tidak boleh ditasharufkan kepadanya. Jika  tiap satu ashnâf diberi satu Shâ’, lebih sedikit atau lebih banyak maka boleh, namun yang utama satu tiap satu orang  diberi satu Shâ’. Waktu pembayaran zakat sunnahnya setelah fajar pada hari  pertama ‘îdul fithri, atau hari yang kedua, tidak boleh lewat dari dua hari berdasarkan qaul yang mu’tamad. Haram menunda pembayaran zakat melebihi masanya, dan dengan itu tidak lantas gugur tetapi tetap  menjadi tanggungannya. Seorang dituntut mengeluarkan zakat untuk dirinya sendiri dan orang yang  wajib ia nafkahi jika ia berkecukupan pada hari itu. Boleh mengeluarkan zakat dengan makanan pokok yang sudah diolah atau dimasak.[14]
2. Zakat Mâl
Allah SWT telah menentukan hak-hak yang harus ditunaikan dalam harta orang-orang kaya,  sebagaimana firman-Nya :

و في أموالهم حقّ للسّائل و المحروم.

Artinya : Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”. (QS. az-Zariyat : 19)
Harta kekayaan yang dimiliki secara penuh, baik itu berupa ternak, barang dagangan, barang tambang, hasil tanaman atau buah-buahan, emas dan perak, dsb. jika telah memenuhi syarat dan ketentuannya maka wajib ditunaikankan zakatnya.  Mengenai ketentuan bagi seseorang terkena kewajiban zakat mâl, ulama Madzhab berbeda pendapat, sebagai berikut;
a.       Al-‘Aql dan al-Bulûgh; menurut Hanafiyah, orang gila atau anak yang masih kecil yang mempunyai harta tidak wajib zakat, begitu pula orang tua atau walinya tidak dituntut mengeluarkan zakat atas harta yang dimilikinya, karena zakat adalah ibadah mahdlah, dalam hal ini keduanya tidak menjadi khithâb. Hanya saja dalam harta keduanya wajib diambil untuk membayar hutang dan nafkah bagi dirinya, karena itu termasuk hak sesama hamba, wajib pula diambil untuk membayar zakat fithrahnya. Sedangka menurut Ulama Mâlikiyah, Syâfi’iah dan Hanâbilah; anak kecil dan orang gila tidak wajib zakat, tetapi orang tua atau walinya wajib mengeluarkan dari harta keduanya itu.
b.       Islâm; Kewajiban ini berlaku atas orang-orang Islam. Adapun orang kafir baik asli maupun karena murtad berdasarkan hadits diatas maka tidak wajib menurut Hanafiyah dan Hanâbilah. Ulama Mâlikiyah berpendapat bahwa orang kafir baik asli maupun murtad tetap wajib, karena Islam itu sebagai syarat sah bukan sebagai syarat wajib, maka tetap wajib baginya sekalipun tidak sah kecuali ia Islam, tetapi ketika kafir tersebut masuk Islam kewajiban dia yang dahulu menjadi gugur dan dimaafkan.[15] Sesuai firman Allah :
Artinya : "Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu :"Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi Sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu ". (Al-Anfal : 38) 
Menurut Ulama Syâfî’iyah; orang kafir jika kafirnya itu asli maka tidak wajib zakat. Jika karena murtad maka tidak gugur kewajibannya. Zakat orang murtad didasarkan atas miliknya, dan mengenai masalah ini ada tiga pendapat; Pertama; kepemilikannya itu lepas sebab kemurtadannya, karena itu tidak wajib zakat baginya. Kedua; kepemilikannya tidak hilang, maka wajib zakat, karena kepemilikan itu hak yang tetap di kala Islam maka tidak pula gugur pada saat murtad, seperti hak adam. Ketiga; tergantung keadaan, jika ia kembali kepada Islam maka ia dikenai hukum, dan jelas zakat wajib baginya. Jika ia membayarnya pada saat murtad maka cukup baginya, niatnya sah, karena niat disini untuk membedakan saja bukan ibadah. Jika tidak kembali Islam maka dihukumi kepemilikannya itu lepas, hartanya menjadi fi’i, dan zakat tidak wajib baginya.[16]
2.1. Binatang Ternak
Yang wajib dizakati dari binatang ternak adalah binatang piaraan (ahliyyah); yakni unta, semua jenis sapi dan semua jenis kambing. Yang dimaksudkan piaraan disini ialah binatang yang jinak. Jika ia liar maka tidak wajib zakat. Begitu pula hasil persilangan antara binatang liar (wahsy) dengan hewan piaraan (ahliyyah). Ini ketentuan yang disepakati oleh kalangan oleh Mâlikiyah dan Syâfî’iyah.
Berbeda dengan Hanafiyah, mereka mengatakan; untuk hasil persilangan antara hewan liar dengan piaraan, yang menjadi patokan adalah induknya; jika yang piaraan (ahliyyah) itu induknya maka wajib zakat, jka sebaliknya maka tidak.  Adapun Hanâbilah, mengatakan bahwa zakat wajib pada semuanya, baik piaraan (ahliyyah), liar (wahsy) atau hasil persilangan dari keduanya.
Syarat dan ketentuan hewan wajib zakat;
a)      Unta, sapi dan kambing itu disyaratkan sâimah bukan ma’lûfah. Hanya saja ulama Madzhab berbeda dalam mendefinisikan keduanya;
- Hanafiyah ; sâimah ialah hewan ternak yang digembalakan di padang rumput yang mubah dengan batas minimal satu tahun lebih.  disyaratkan tujuannya ialah untuk dikembang biakkan dan diambil dagingnya.
- Syâfî’iyah ; mengatakan bahwa, sâimah ialah hewan ternak yang dilepas oleh pemiliknya dengan diawasi olehnya atau wakilnya untuk menggembalakan di padang rumput yang mubah dalam waktu lebih dari satu tahun,  dan tidak mengapa jika ia memberi makan sedikit jika itu tidak dimaksudkan untuk ‘ulfah.
- Hanafiyah ; sâimah ialah ternak yang dilepas oleh pemiliknya untuk digembalakan di lapangan selama satu tahun lebih, dengan maksud untuk diambil susunya, anaknya, atau dagingnya.
- Mâlikiyah ; tidak memberi batasan sâimah dan ma’lûfah, karena mereka tidak membedakan keduanya dalam hal wajibnya zakat.[17]
b)      Unta, sapi dan kambing itu telah mencapai jumlah tertentu (nishâb) dan genap satu tahun (haul).
Berikut ketentuan nishâb dan kadar zakat yang harus dikeluarkan : [18]
No
Jenis
Nishâb
Kadar zakat
01
Unta
5 ekor
10 ekor
15 ekor
20 ekor
25 ekor
36 ekor
46 ekor
61 ekor
76 ekor
91 ekor
121 ekor
Tiap bertambah 40 ekor
Tiap bertambah 50 ekor
1 ekor kambing syât (umur 1 th masuk 2 th)
2 ekor kambing syât (umur 1 th masuk 2 th)
3 ekor kambing syât (umur 1 th masuk 2 th)
4 ekor kambing syât (umur 1 th masuk 2 th)
1 ekor unta bintu makhadl (umur 1 th masuk 2 th)
1 ekor unta bintu labûn (umur 2th masuk 3 th)
1 ekor unta hiqqah (umur 3th masuk 4 th)
1 ekor unta jada’ah (umur 4th masuk 5 th)
2 ekor unta bintu labûn (umur 2 th masuk 3 th)
2 ekor unta hiqqah (umur 3 th masuk 4 th)
3 ekor unta banât labûn (umur 2th nasuk 3 th)
Ditambah 1 ekor unta bintu labun
Ditambah 1 ekor unta hiqqah
02
Sapi
30 ekor
40 ekor
Tiap bertambah 30 ekor
Tiap bertambah 40 ekor
1 ekor sapi tabî’ (umur 1 th masuk 2 th)
1 ekor sapi musinnah (umur 2 th masuk 3 th)
Ditambah 1 ekor tabî’
Ditambah 1 ekor musinnah
03
Kambing
40-120
121-200
201-300
Tiap tambah 100 ekor
1 ekor kambing syât (umur 1 th masuk 2 th)
2 ekor kambing syât (umur 1 th masuk 2 th)
3 ekor kambing syât (umur 1 th masuk 2 th)
Ditambah 1 ekor kambing syât
2.2. Emas dan perak
Harta kekayaan berupa emas dan perak yang disimpan (bukan yang dikenakan untuk hiasan) jika telah mencapai nishâb dan batas haul maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT;
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (QS. At-Taubah : 34)
Adapun nishâb emas adalah 20 mitsqâl  menurut ukuran neraca negeri Makkah,[19] berdasarkan riwayat Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda;
وَ لَا يَجِبُ فِي أَقَلِّ مِنْ عِشْرِيْنَ مِثْقَالًا مِنْ ذَهَبٍ شَيْئٌ .
“tidak ada kewajiban zakat pada emas yang kurang dari 20 mitsqal sedikitpun”
Sedangkan nishâb dari perak adalah 5 awâq (200 Dirham).[20] Sebagaimana hadits riwayat Ibnu Umar RA bahwasannaya Nabi SAW bersabda;
إذَا بَلَغَ مَالُ أَحَدِكُمْ خَمْسَ أََوَاقٍ مِائَتَيْ درْهَمٍ فَفِيْهِ خَمْسُ دَرَاهِيْمَ .
“Jika harta seorang diantara kamu telah mencapai 5 awaq yakni 200 dirham, maka padanya  wajib  zakat 5  dirham”.
في الرِّقِّ رُبْعُ الْعُشُرِ . رواه البخاري
“Pada emas dan perak, zakat nya adalah seperempatpuluh (1/40) (2 ½ %)”
Kadar zakat dari emas dan perak berdasarkan hadits di atas ialah 2,5%.
2.3. Zakat Niaga
Oleh karena barang niaga termasuk  harta yang dimaksudkan untuk dikembangkan maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW;
 Mengenai ketentuan wajibnya zakat barang dagangan ini kita lihat berikut perbedaan ulama Madzhab :
a.       Syâfî’iyah ; wajib zakat pada barang dagangan disyaratkan; (1) telah menjadi miliknya; misal, barang tersebut telah dibeli baik tunai maupun kredit dan diniati untuk tijârâh, (2) adanya niat sejak barang tersebut diserah terimakan sebagai barang dagangan, saat itu sudah mulai terhitung sebagai barang dagang yang wajib zakat, jika tidak ada niat maka tidak. 3) barang tersebut tidak dimaksudkan untuk dimanfaatkan atau digunakan, jika hendak memperdagangkan setelah ia tidak butuh lagi maka berdasarkan niatnya yang baru,  (4) mencapai haul; yang dihitung dari awal ketika barang dagangan tersebut menjadi milikinya, (5) cukup nishâb; nilai (qîmah) dari barang dagangan itu masih ada dan cukup satu nishâb sampai akhir haul, jika semua barang dagangan itu pada waktu haul telah menjadi uang tunai dan kurang dari satu nishâb maka tidak wajib zakat. Nishâbnya adalah sama dengan nilai harga emas, kadar zakatnya 2,5% darinya.
b.      Hanafiyah ; wajib zakat pada barang dagangan dengan syarat; (1) telah mencapai satu nishâb emas atau perak, yakni disesuaikan dengan harga emas yang atau perak yang berlaku pada daerah dimana harta itu berada. (2)  mencapai haul, dan cukup nishâb pada akhir haul. jika seseorang memiliki satu nishâb di awal haul lalu berkurang pada pertengahan, kemudian cukup pada akhir haul maka wajib dikeluarkan zakatnya. Dan  penghitungannya berdasarkan jumlah yang ada pada akhir haul tersebut. (3) adanya niat dagang. Niat di sini hendaknya bersamaan dengan aktivitas dagang yang dilakukannya. (4) barang yang diniati untuk dagang itu hendaknya yang pantas untuk diperdagangkan, jika barang tersebut berupa tanah yang ditanami tanaman tanaman wajib zakat, maka wajib zakat atas hasil tanaman itu pada waktunya, jika tidak ditanami maka wajib zakat atas tanah itu berdasarkan nilai atau harganya sebagai zakat barang dagangan. Jika ia mempunyai binatang piaraan yang diniati untuk barang dagangan kemudian sebelum haul ia merubah niatnya untuk dipelihara, maka terputuslah haul-nya tijârâh, dan haul untuk binatang ternak itu dimulai dari olehnya menjadikan binatang tersebut sebagai binatang ternak, juga zakatnya sesuai ketentuan zakat binatang ternak.
c.       Mâlikiyah ; wajib atas barang dagangan untuk dizakati secara mutlak, baik ibarangnya itu berputar maupun diam (seperti, dalam piutang) dengan beberapa syarat  diantaranya; (1) barang dagangan itu hendaknya bukan merupakan barang yang wajib zakat atas zat (ain) nya sendiri (seperti emas, perak, ternak, dsb.), jika termasuk barang zakâwiy dan telah mencapai nishâb dan haul-nya maka wajib dikeluarkan zakatnya sesuai ketentuannya masing-masing, jika tidak mencapai nishâb-nya dan haulnya, maka zakat dihitung qîmah-nya dan dizakati sebagaimana ketentuan zakat barang dagangan yang lain. (2) merupakan barang yang menjadi miliknya sebab mubâdalah, jika tidak (seperti warisan, hibah, dsb.), jika kemudian diniati untuk tijârâh, ketika ia menjualnya maka untuk haul dihitung dari sejak ia menerima harganya itu, bukan sejak ia memiliki barang. (3) hendaknya ada niat untuk tijârâh pada saat membeli barang. (4)  barang-barang dagangan tersebut dihargakan dan telah mencapai satu nishâb emas atau perak.
d.      Hanâbilah ; wajib zakat barang dagangan ketika nilai (qimah-nya) sudah mencapai satu nishâb dengan dua syarat; (1) memmilikinya barang itu dengan usahanya, jika memilikinya itu karena yang lain, seperti sebab warisan maka tidak wajib zakat. (2) ada niat usaha memperdagangkan barang yang dimilikinya tersebut. Dan niat harus terus berlanjut setiap akhir masa haul. jika ia membeli barang dengan maksud untuk disimpan kemudian niat untuk tijârâh maka tidak menjadi tijârâh, kecuali perhiasan yang digunakan untuk pakaian,  jika ia membelinya untuk dipakai kemudian ia niat menjadikan tijârâh setelah itu maka menjadi barang tijârâh dengan niat tersendiri.
Kewajiban zakat tijârâh terdapat pada nilai barang, sekalipun misalnya barang dagangan itu berbeda-beda jenis, maka dihitung menjadi satu, juga keuntungan yang dihasilkan dari modal pokoknya masuk penghitungan pada waktu haul. Sedangkan ketentuan zakatnya disamakankan dengan nilai nishâb emas atau perak. Dan kadar zakatnya sebesar 2,5% dari hasil penjumlahan. [21]

2.4. Zakat Barang Tambang & Rikâz
Kewajiban zakat atas harta hasil tambang dan rikâz ini didasarkan pada penjelasan Rasulullah SAW;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهَ عَنْهَ قَالَ ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : الرِّكَازُ الخُمُسُ  (متفق عليه)
“Dari Abi Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda : zakat rikâz itu adalah seperlima”. (HR. Bukhari Muslim)
أََنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أخَذَ مِنْ المَعَدِنِ القَبَلِيَّةِ الصَّدَقَةَ  .(رواه أبو داود و الخاكم)
Bahwa Rasulullah SAW telah mengambil sedekah (zakat), dari hasil tambang di negeri Qabaliyah”
Menurut Hanafiyah, ma’dan dan rikâz adalah satu makna. Dalam pengertian Syara’ yaitu harta yang ditemukan di bawah tanah, baik itu berupa ma’dan khalqy yang diciptakan Allah SWT tanpa diolah oleh manusia, maupun berupa harta simpanan yang sengaja dipendam  oleh orang kafir. Apa yang dikeluarkan dari keduanya itu tidaklah dinamakan zakat secara hakikat, karena tidak disyaratkan padanya sebagaimana syarat-syarat zakat pada umumnya. Hanya saja barang tambang itu dibagi menjadi tiga; (i) barang yang ter cetak/dicetak  dengan api, seperti emas, perak, tembaga, timah, besi dsb. (ii) berupa benda cair, seperti minyak tanah, minyak gas, dsb. (iii) benda yang tidak dapat dicetak baik dengan api maupun bendacair, seperti mutiara, berlian dsb. Untuk barang-barang tambang yang  dapat dicetak dengan api maka wajib dikeluarkan zakatnya 1/5 (20%) tidak perlu haul. Semua itu jika ada indikasi bahwa barang-barang tersebut merupakan tinggalan zaman jahiliyah, jika diperkirakan didapati pada wilayah ahlul Islam maka statusnya sebagai luqathah. Segala barang logam yang dikeluarkandari bumi, baik itu dapat dicetak dengan api maupun tidak, wajib dizakati.
Mâlikiyah membedakan antara ma’dan dan rikâz; ma’dan ialah, harta yang diciptakan oleh Allah di bumi, yang berupa emas, perak, dan selain keduanya seperti, tembaga, timah, dsb. Segala barang logam selain emas dan perak tidak wajib di zakati. Jika berupa emas maka wajib dizakati sebesar 1/5 (20%) dengan syarat orang yang menemukan itu Islam, merdeka, dan mencapai nishâb, sedangkan haul tidak menjadi syarat.
Hanâbilah ; ma’dan adalah segala yang dikeluarkan dari dalam bumi dan bukan termasuk jenisnya, baik itu berupa benda padat, seperti emas dan perak, maupun benda cair, seperti minyak tanah dsb. Maka wajib bagi orang yang mengeluarkan zakatnya nya 1/5 (20%) dengan dua syarat; (i) telah mencapai satu nishâb jika itu berupa emas dan perak, dan nilainya mencapai satu nishâb jika itu selain emas dan perak. (ii) orang yang mengeluarkannya termasuk orang yang berkewajiban zakat.
Syâfî’iyah ; bahwa yang dimaksud dengan ma’dan (tambang) dalam ha ini adalah barang yang dikeluarkan dari tempat yang diciptakan oleh Allah SWT padanya, pada bumi yang mubah atau yang telah menjadi miliknya, dan ini hanya khusus untuk jenis emas dan perak, tidak ada kewajiban zakat pada barang-barang tambang selain emas dan perak. Ini tidak ubahnya seperti pertambangan emas atau perak, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebagimana ketentuan zakat emas atau perak jika telah mencapai nishâb yakni 1/40 (2,5%), hanya saja  dalam hal ini haul tidak menjadi syarat. Untuk perhitungan satu nishâb tidak harus satu kali pengeluaran, jika setelah beberapa kali pengeluaran baru cukup satu nishâb maka pada saat itulah zakat wajib dikeluarkan.[22]

2.5. Zakat Biji dan Buah-buahan
Tanaman Biji atau buah-buahan harus keluarkan zakatnya, sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya : “Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (Al-An’am : 141)
Adapun nishâb biji makanan yang mengenyangkan dan buah-buahan adalah 300 Shâ’ (+ 950 liter) bersih dari kulitnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW;
لَيْسَ فِي حَبٍّ وَلَا تَمَرٍ صَدَقَةٌ حَتىَّ يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ . (رواه مسلم)
“tidak ada kewajiban sedekah (zakat) pada biji dan buah-buahan sehingga sampai banyaknya 5 wasaq”.[23]
Zakatnya, kalau yang diairi dengan air sungai atau air hujan (tanpa biaya mahal), maka 1/10 (10%). Dan untuk yang diairi dengan biaya, seperti dengan kincir yang ditarik binatang, sanyo dsb., zakatnya 1/20 (5%). Sebagaimana penjelasan Nabi SAW;
عن ابن عُمر أنّ النّبي صلّى الله عليه و سلّم قال : فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَ الْعُيُوْنُ اَوْ كَانَ عَثَرِيًّا العُشْرُ وَ فِيْمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ . (رواه الجماعة إلامسلم)
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Pada biji yang diairi dengan hujan dan mata air atau yang mengisap air dengan akarnya, sakatnya sepersepuluh. Dan yang diairi dengan kincir yang ditarik unta  seperduapuluh”. 
Mengenai ketentuan tanaman apa saja yang wajib dizakati, ulama madzhab berbeda pendapat. Hanafiyah; wajib dikeluarkan zakatnya setiap tanaman yang ditimbuhkan oleh bumi; dari jenisnya gandum, padi-padian, dakn, biji-bijian, kacang-kacangan, sayur-sayuran, tumbuhan yang wangi baunya, bunga mawar, tebu, semangka, gambas, mentimun, kurma, anggur,  dan sebagainya baik itu memiliki buah yang tetap maupun tidak, baik itu sedikit maupun. Tidak disyaratkan adanya nishâb dan masuk haul. wajib pula zakat pada rami dan benihnya, buah kelapa dan buah dadam,  jintan. Tidak wajib zakat pada benih tanaman-tanaman yang tidak bagus kecuali karena ditanam. Tidak wajib pula pepohonan yang mengikut (tertancap) di bumi, seperti pohon kurma, pohon pohon-pohon yang lain, begitu pula tidak wajib zakat pada apa yang keluar dari pohon sepeti getah dan cairan-cairan yang menetes darinya. Tidak pula pada kayu bakar dari pohon kapas,  juga pada pisang. Wajib zakat pada setiap tanaman yang tidak kurang diambil untuk nafah darinya.
Syâfî’iyah; zakat tanaman dan buah-buahan wajib dengan tiga syarat; (i) termasuk buah atau biji-bijian yang memberi kekuatan (bisa dijadikan makanan pokok), seperti gandum, jagung, padi, kacang tanah, kacang hijau, kacang, dsb, (ii) menjadi miliknya secara jelas. Jika tanaman atau buah-buahan itu menjadi wakaf maka tidak wajib, begitu pula yang ada pada tanah lapang yang tidak jelas kepemilikannya, (iii) telah mencapai nishâb.
Hanâbilah; wajibnya zakat  tanaman dan buah-buahan dengan dua syarat selain syarat yang telah dijelaskan yaitu; (i) bisa bertahan lama untuk bila disimpan, (ii) mencapai satu nishâb pada waktu wajib zakat.
Mâlikiyah; kewajibnya zakat tanaman dan buah-buahan bergantung pada waktu baiknya (masak/mendekati masak, atau tua). Semua itu wajib jika merupakan hasil tanaman atau sengaja ditanam oleh seseorang. Adapun tanaman biji-bijian dan buah yang tumbuh dengan sendirinya maka tidak wajib zakat. Tanaman atau buah-buahan yang wajib dizakati ada 20 macam yaitu;  jenis gandum (qamh, sya’îr, sallat), padi-padian, dakhn, jenis kacang-kacangan (fûl, lubya, hamsh, ‘adas, tarmus, baslah, jalbân) jenis yang berminyak (zaitun, samsam, qurthûm, dan biji delima merah), jenis buah (kurma dan anggur).[24]
Apabila seseorang telah mengeluarkan zakat dari buah-buahan atau biji-bijian kemudian yang tersisa itu disimpan bertahun-tahun, maka tidak lagi dikeluarkan zakatnya. Pendapat ini disetujui oleh Imam yang empat. Tetapi menurut Hasan Al-Bashry, wajib diberikan zakatnya tiap-tiap cukup haul.[25]
2.6. Zakat Uang kertas
Dengan memiliki uang kertas bertanda bahwa orang yang memegangnya berhak emas atau perak sebanyak angkanya, tetapi pada saat ini uang kertas dapat berlaku di pasar-pasar untuk membeli apa saja dan dapat ditukarkan dengan emas atau perak kapan dan dimanapun tempatnya dengan cepat. Oleh karena itu uang kertas itu wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencukupi syarat-syarat wajib zakat ebagaimana yang telah diterangkan.
Apabila dalam kenyataan emas dan perak itu sangat sedikit berada di tangan-tangan orang banyak, karena emas dan perak itu telah dikuasai oleh bank (negara) diseluruh dunia, sedangkan segala keperluan dapat dijalankan dengan uang kertas saja. Dengan demikian kalau tidak wajib zakat pada uang kertas tentunya akan mengurangkan hak fakir miskin. Bahkan tidak menutup kemungkinan sedikit hari lagi akan hilang , bila uang emas dan perak terus menerus dikuasai oleh bank (negara); sedangkan zakat itu disyariatkan guna menolong mereka yang berhakmenerima zakat, agar dapat pula menjalankan kewajiban mereka kepada Allah SWT dan kepada Masyarakat.[26]
2.7. Zakat Harta Persekutuan
Jika dua orang atau lebih bersekutu atas kepemilikan barang yang wajib dizakati, jika telah mencapai nishâb dan ketentuannya maka wajib dikeluarkan zakatnya.  Para ulama berselisih pendapat apakah persekutuan  atau percampuran hak atas harta tersebut berpengaruh pada kadar nishâb ataukah tidak.
Hanafiyah berpendapat bahwa percampuran harta tidak berpengaruh, baik pada kadar zakat maupun pada kadar nishâb. Sedangkan Mâlikiyah, Syâfî’iyah, dan kebanyakan ulama sepakat bahwa pemilik harta percampuran wajib mngeluarkan zakatnya sebagai seorang pemilik (mengeluarkan hanya satu zakat). Tetapi kemudian para ulama berselisih pendapat tentang dua persoalan;
a.       Tentang nishâb pada pemilik harta persekutuan, apakah dianggap sebagai pemilik yang satu, baik saat masing-masing orang memliiki satu nishâb atau tidak. Ataukah masing-masing harus mengeluarkan zakatnya sendiri-sendiri jika masing-masing telah memiliki satu nishâb.
b.       Tentang sifat pencampuran yang mempunyai pengaruh.
Perbedaan pendapat mengenai persoalan pengaruh percampuran hak-hak kepemilikan harta terhadap nishâb dan kasar zakat, disebabkan kerena silang pendapat tentang pengertian sabda Nabi SAW ;
لَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُفْتَرِقٍ، وَ لَا يُفْتَرَقُ بَيْنَ مُجْتَمَعٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ، وَ مَا كَانَ مِنْ خَلِيْطَيْنِ فَإِنَّهُمَا يَتَرَاجَعَانِ بِالسَّوِيَّةِ. (رواه مالك و ابو داود)
“harta yang terpisah tidak boleh dikumpulkan, dan harta yang terkumpul tidak boleh dipisahkan karena khawatir tekena zakat. Dan harta milik bersama dari dua orang harus ditanggung zakatnya secara seimbang”.
Masing-masing golongan yang bersilang pendapat menempatkan pengertian hadits tersebut berdasarkan keyakinan masing-masing. Hal itu karena mereka berpendapat bahwa percampuran hak kepemilikan harta berpengaruh pada nishâb dan kadar zakat, atau pula berpengaruh pada kadar zakat saja. Mereka mengatakan bahwa hadits Nabi; ““harta yang terpisah tidak boleh dikumpulkan, dan harta yang terkumpul tidak boleh dipisahkan” ini dengan jelas menunjukkan bahawa harta milik bersama dua orang  itu layaknya milik satu orang.
Sedangkan mereka yang tidak meyakini adanya pengaruh percampuran hak milik, mereka mengatakan bahwa dua orang pemilik bersama (syarîkain) kadang dikatakan sebagai pemilik campuran (khalîthain). Karena ada kemungkinan bahwa maksud Nabi dengan sabdanya; “harta yang terpisah tidak boleh dikumpulkan, dan harta yang terkumpul tidak boleh dipisahkan” di atas adalah larangan bagi petugas zakat untuk memecahkan harta milik seseorang sedemikian rupa, sehingga sehingga zakatnya menjadi banyak. Seperti ketika seseorang memiliki 120 ekor kambing kemudian dipecah menjadi tiga bagian, masing-masing 40 kambing, hingga zakatnyapun menjadi 3 ekor kambing. Atau juga yang dimaksudkannya ialah digabungkannya harta milik seseorang kepada pemilik lain yang dengannya dapat diperoleh zakat lebih banyak.
Mengenai pengertian hadits di atas, Imam Malik berpendapat bahwa, sabda Nabi “harta yang terpisah tidak boleh dikumpulkan,” ; adalah  jika masing-masing dari kedua pemilik harta campuran itu mempunyai 100 ekor kambing maka atas keduanya dikenakan 3 ekor kambing, tetapi jika keduanya dipisahkan maka masing-masing dari keduanya dikenakan 1 ekor. Dan  sabda Nabi; “harta yang terkumpul tidak boleh dipisahkan” adalah seperti jika ada 3 orang yang masing-masing mempunyai 40 ekor kambing, berarti mereka dikenai zakat 1 ekor kambing. Jadi menurut  Imam Malik, larangan tersebut hanya ditujukan kepada para pemilik harta campuran yang masing-masing mempunya harta yang telah mencapai nishâb.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengertian hadits ; harta yang terkumpul tidak boleh dipisahka” adalah seperti ketika dua orang yang memiliki 40 ekor kamping, jika kambing mereka berdua dipisahkan maka lepaslah kewajiban zakat atas keduanya. Dengan hadits ini Syafi’i berpendapat bahwa nishâb para pemilik harta campuran adalah seperti nishâb zakat milik perorangan.
Para ulama yang meyakini adanya pengaruh harta campuran, berselisih pendapat mengenai jenis harta yang berpengruh terhadap zakat. Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat adanya percampuran adalah bercampurnya hewan-hewan ternak kedua pemilik, berkandang sama, susunya diperah bersama, digembalakan bersama, dan diberi minum bersama, pejantannya pun merupakan milik campuran keduanya. Dalam hal ini Syafi,i tidak membedakan antara percampuran (khiltah) dan perkongsian (syirkah). Karena itu ia menghitung terpenuhinya satu nishâb pada masing-masing dari kedua pemilik tersebut.
Sedangkan Malik berpendapat yang disebut dengan hewan ternak campuran adalah jika tempat munum, tempat mandi, kandang, penggembala, dan pejantannya diusahakan bersama. Kemudian para pengikut Imam Malik berselisih pendapat tentang keharusan terpenuhinya sebagian atau seluruh persyaratan tersebut agar dapat dikategorikan sebagai percampuran.
Perbedaan ini disebabkan adanya banyak makna dari kata khalthah (percampuran). Sebab itulah para ulama tidak mengakui adanya pengaruh campurn terhadap zakat. Pendapat inilah diantaranya yang diakui oleh Abu Muhammad bin Hazm Al-Andalusi.[27]
B. PENTASHARUFAN ZAKAT
Surat At-Taubah Ayat : 60 ;
إنّما الصّدقات للفقراء و المساكين و العاملين عليها و المؤلّفة قلوبهم و في الرّقاب و الغارمين و في سبيل الله و ابن السّبيل، فريضة من الله، و الله عليم حكيم.
Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
1. Tafsir Mufrodat & Analisis Bahasa
a)      إنما الصّدقات ; kata (إنما) menunjukan batasan atau cakupan khusus (hashr), artinya jenis shadaqah itu ditasarufkan hanya kepada delapan ashnâf yang disebutkan bukan yang lain.[28] (الصّدقات) bentuknya jamak dan umum artinya bisa meliputi shadaqah wâjibah (zakat) dan shadaqah mandûbah (sedekah biasa). Adapun  mengenai masuknya shadaqah mandûbah dalam hal ini terjadi perselisihan antara ulama, ada yang memasukkan ada yang tidak.
Mereka yang memasukkan shadaqah mandûbah melihat bahwa lafadz tersebut bersifat umum, bisa mencakup segala jenis shadaqah, baik yang wajib maupun yang mandûb. Bahkan pemahaman secara eksplisit terhadap lafadz itu adalah shadaqah mandûbah, maka ketika shadaqah wâjibah (zakat) masuk dalam lafadz tersebut maka sangat mungkin pula shadaqah mandûbah masuk.
Sedangkan mereka yang melihat bahwa yang dimaksudkan dengan lafadz tersebut adalah zakat, beralasan ; (i) bahwa ال pada lafadz  (الصّدقات) adalah lil ‘ahdiyah menunjukkan sesuatu yang telah maklum, dan yang telah maklum sebelumnya adalah shadaqah wâjibah (zakat).  (ii) bahwa sedekah mandûb itu boleh ditasharufkan kepada siapa saja selain ashnâf delapan tersebut; (iii) Allah menjadikan bagian untuk Âmil dalam hal tersebut, dan tidak diketahui dalam syara’ adanya bagian Âmil karena menarik shadaqah mandubah, sekiranya dalam ayat itu masuk shadaqah mandûbah mestinya seorang Imam mengerahkan para Amil untuk menarikinya dan sehingga mereka memperoleh bagian darinya. Hal itu tidaklah mungkin. Jadi shadaqah yang pentasharufannya hanya diperuntukkan pada ashnâf delapan sebagaimana tersebut dalam ayat adalah zakat.
b)      فريضة من الله ; berarti sebagai ketetapan yang diwajibkan Allah; sudah menjadi ketentuan Allah bahwa zakat harus diberikan kepada ashnâf delapan bukan pada yang lain.
2. Munasabah Ayat & Sebab Nuzulnya
Pernyataan mayoritas ulama bahwa yang dimaksud dengan lafadz الصّدقات pada ayat diatas adalah zakat, dengan alasan bahwa ال yang ada pada awal lafadz tersebut adalah lil-‘ahdiyah, yakni menunjuk sesuatu yang telah maklum, dan yang telah maklum itu adakah shadaqah wâjibah (zakat), pernyataan itu benar berdasarkan korelasi dengan ayat sebelumnya, sebagaimana  yang diisyaratkan pada  ayat 58-59 surat At-Taubah ;
وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوْا مِنْهَا رَضُوْا وَإِنْ لمَ ْيُعْطُوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُوْنَ، وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوْا مَا آتَاهُمُ اللهُ وَرَسَوُلُهُ وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللهُ سَيُؤْتِيْنَا اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُوْلُهُ إِنَّا إِلَى اللهِ رَاغِبُوْنَ.
Artinya : “Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. Jika mereka sungguh-sungguh rida dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah", (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). (QS. At-Taubat : 58-59)
Bahwa ayat ini menyinggung tentang segolongan munafik yang mencerca Nabi SAW dalam pembagian zakat, mereka menyangka bahwa Nabi membagi-bagikannya pada orang sekehendaknya dari kalangan kerabat dan orang-orang yang ia sukai, demikian mereka menganggap bahwa Nabi tidak berlaku adil, mereka berkata “demi Allah Muhammad tidak memberikan zakat itu kecuali kepada orang-orang yang ia sukainya, ia hanya menuruti hawa nafsunya”, maka turunlah ayat diatas.[29] Dan pada kelanjutannya dinjelaskan tentang orang-orang yang berhak atas pembagian zakat. Ini membicarakan tentang shadaqah wâjibah (zakat), maka pada ayat kelanjutannya juga masih berkenaan dengan shadaqah wâjibah (zakat).[30]
3. Penjelasan
Pada ayat 60 surat At-Taubah di atas terdapat dua bentuk jama’; jama’ dengan huruf “waw(و) ; dan jama’ dengan shigat. Imam Syafi’i menetapkan berdasarkan zahirnya pada dua bentuk jama’ secara bersamaan. Dengan demikian maka, semua jenis shadaqah wâjibah (zakat) baik itu zakat fithrah maupun zakat mal wajib ditasharufkan kepada delapan ashnâf yang ada, karena ayat menyandarkan shadaqah kepada mereka dengan lâm at-tamlîk, dan antara mereka berserikat dengan waw at-tasyrîk. Ini meninjukkan bahwa zakat semuanya milik mereka secara berserikat. Jika zakat diberikan sendiri oleh pemilik harta tanpa melalui ‘Âmilîn  atau wakilnya maka gugurlah bagian ‘Âmilîn , dan zakat wajib dibagikan kepada tujuh ashnâf dengan adil, tidak ada yang lebih kuat antara mustahiq yang satu atas yang lain. Jika tidak ditemukan semuanya maka diberikan kepada ashnâf yang ada, tetapi tidak boleh kurang dari tiga orang dari tiap-tiap golongan, karena jumlah jama’ minimal adalah tiga. Jika yang memberikan zakat itu Imam atau wakilnya maka harus diratakan kepada tiap-tiap ashnâf. Ini yang dipegangi oleh ‘Ikrimah, Umar bin Abdul Aziz, Az-Zuhri dan Daud Adh-Dhahiri.
Imam Abu Hanifa, Malik dan Ahmad, mengatakan bolehnya mensaharufkan zakat kepada satu golongan (shinf) mustahiq. Bahkan Abu Hanifah dan Malik membolehkan mentasharufkannya kepada satu orang diantara salah satu ashnâf tersebut. Imam Malik menganjurkan untuk memberikannya kepada yang paling mendesak hajatnya diantara mereka. Ibrahim An-Nakha’i berkata ; boleh jika zakat itu sedikit ditasharufkan kepada satu golongan mustahiq, jika banyak maka harus diratakan kepada ashnâf  yang ada.
Keterangan yang dinuqil dari tiga Imam itu adalah riwayat dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Hudzaifah, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Atho’, Sa’îd bin Jabir, Adl-Dlahak, Asy-Sya’biy, Ats-Tsaury, dan merupakan qaul yang dipilih oleh segolongan Ashhab Asy-Syafi’i, bahwa boleh membayarkan zakat fithrah kepada tiga orang fakir atau orang miskin. Bahkan Ar-Rubbani dari Syâfî’iyah berpendapat bolehnya membeyar zakat mal kepada tiga orang ahli sahman, beliau berkata : “ini merupakan pilihan karena pekerjaan yang mendesak pada madzhab kami, dan sekiranya Imam Syafi’i hidup pasti ia akan menfatwakan itu”.[31]
Tiga Imam di atas didalam memahami ayat lebih cenderung pada alternatif / pilihan pada delapan ashnâf, artinya tidak boleh mentasharufkan zakat kepada selain ashnâf ini, dan mengenai siapa diantara ashnâf itu adalah boleh memilih. Ayat menjelaskan tentang ashnâf yang boleh dikasih bagian zakat, bukan untuk menentukan pembayaran  kepada mereka. Yang dijadikan dalil oleh mereka adalah firman Allah ;
Artinya : “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, Maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu..” (QS. Al-Baqarah : 271)
Dan sabda Rasulullahh SAW ;
أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ وَ أَرُدُّهَا إِلَى فُقَرَائِكُمْ
“Aku diperintahkan mengambil shadaqah (zakat) dari orang-orang kaya kalian, dan memberikannya kepada orang-orang fakir kalian”
Secara dhahir  dasar di atas menunjukkan bolehnya memberikan semua shadaqah kepada Fuqarâ’  tidak kepada yang lain, bahkan dhahirnya lafadz menghendaki wajib dengan lafadz “ أُمِرْتُ ”, ini menunjukkan bolehnya mencukupkan pada satu golongan saja. Adapun dasar bolehnya pada satu urang saja adalah, bahwa bentuk jama’ yang dima’rifatkan dengan al itu secara hakikat  ada kalanya lil ‘ahdiyah, istighrâq dan majâz mengenai jenis orang yang shadaqah dengan satu.
Jika digunakan istighrâq, tidak mungkin satu sedekah diperuntukkan untuk tiap-tiap orang fakir, yang demikian itu pemahaman dhahir yang rancu. Tidak bisa pula jika dimaknai sebagai ‘ahdiyah, tidak ketemu nisbahnya. Dengan demikian dikembalikan pada fungsi sebagai majâs, maka artinya pada ayat itu bahwa satu jenis shadaqah untuk satu jenis orang fakir, dan satu jenis fakir tidaklah menjadi nyata kecuali dengan adanya satu orang, maka boleh mentasharufkannya kepada satu orang.[32]
Berdasarkan ayat 60 surat At-Taubah di atas, golongan yang berhak menerima zakat hanya mereka yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’ân tersebut, tidak boleh kepada yang lain, yaitu ada delapan gololongan. Berikut penjelasannya berdasarkan pendapat ulama empat  mazdhab;
a. Mazhab Hanafi
1.       Fuqarâ’ ; yaitu orang yang mempunyai harta kurang dari satu nishâb, atau mempunyai satu nishâb, atau lebih, tetapi habis dengan hajatnya.
2.       Masâkîn ; yaitu orang yang tidak mempunyai satupun juga.
3.       ‘Âmilîn ; yaitu orang yang diangkat untuk mengambi dang mengurus zakat.
4.       Muallaf ; mereka yang tidak diberi zakat lagi sejak Khilafah pertama.
5.       Riqâb ; yaitu hamba yang dijanjikan oleh tuannya bahwa ia boleh menebus dirinya dengan uang, atau harta lain.
6.       Ghârimin ; yaitu orang yang mempunyai hutang, sedangkan hitungan hartanya diluar hutangnya tidak cukup satu nishâb, ia dibri zakat untuk membeyar hutangnya.
7.       Fi sabîlillah ; yaitu balatentara untuk berperang pada jalan Allah.
8.       Ibnu Sabîl; yaitu orang yang dalam perjalanan, yang putus perhubungan dengan hartanya, orang inin diberi sekadar kebutuhannya.
b. Madzhab Maliki
1.       Fuqarâ’ ; yaitu orang yang mempunyaiharta, sedang hartanya tiu tidak mencukupi untuk kebutuhannya dalam masa satu tahun, orang yang menckupi dari penghasilan yang tertentu tidak diberi zakat, orang yang punya penghasdilan tidak mencukupu diberi sekedar mencukupi.
2.       Masâkîn ; yaitu orang yang tidak mempunyai satupun juga.
3.       ‘Âmilîn ; yaitu pengurus zakat, penulis, pembagi, penasehat, dan sebagainya, yang bekerja untuk kepentingan zakat. Syaratnya; ia harus adil, mengetahui segala hukum yang bersangkutan dengan zakat.
4.       Muallaf ; sebagian mengatakan: orang kafir yang ada harapan untuk masuk Islam, sebagian yang lain mengatakan: orang Islam yang baru memeluk Islam.
5.       Riqâb ; hamba Muslim yang dibeli dengan uang penghasilan zakat dan dimerdekakan.
6.       Ghârimin ; yaitu orang yang berhutang sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk membayar hutangnya, dibayar hutangnya dengan zakat jika ia berhutang bukan untuk sesuatu yang fasâd (jahat).
7.       Fi sabîlillah ; yaitu Bala tentara dan mata-mata. Juga harus untuk membeli senjata atau kuda atau untuk keperluan perang yang lain di jalan Allah.
8.       Ibnu Sabîl; yaitu orang dalam perjalanan, sedangkan ia butuh kepada sokongan untuk ongkos pulang ke negerinya, dengan syarat perjalanannya bukan ma’siat.
c. Madzhab Hambali
1.       Fuqarâ’ ;  yaitu Orang yang tidak mempunyai harta, atau mempunyai harta tetapi kurang dari seperdua keperluannya.
2.       Masâkîn ; yaitu yang mempunyai harta seperdua keperluannya atau lebih tetapi tidak mencukupi.
3.       ‘Âmilîn ; yaitu Pengurus zakat, ia diberi zakat sekedar upah pekerjaannya (sepadan dengan pekerjaannya).
4.       Muallaf ; Orang yang mempunyai pengaruh disekelilingnya, sedang ada harapan ia akan masuk Islam atau ditakuti kejahatannya, atau orang Islam yang ada harapan imannya akan bertambah teguh atau harapan orang lain akan Islam karena pengaruhnya.
5.       Riqâb ; hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya boleh menebus dirinya dengan uang yang telah ditentukan, ia diberi zakat sekadar penebus dirinya.
6.       Ghârimin; yaitu ada dua macam; (i) orang yang berhutang untuk mendamaikan orang lain yang berselisih, (ii) orang yang berhutang untuk dirinya sendiri pada pekerjaan yang mubah atau haram tetapi sudah bertaubat.
7.       Fî sabîlillah ; yaitu bala tentara yang tidak dapat gaji dari pimpinan atau pemerintah.
8.       Ibnu Saîbl ; yaitu orang yang keputusan belanja dalam perjalanan yang halal. Musafir diberi sekedar cukup ongkos buat pulangnya.
d. Madzhab Syafi’i
1.       Fuqarâ’ ; yaitu orang yang tidak mempunyai harta dan usaha, atau mempunyai harta atau usaha yang kurang dari seperdua kecukupannya dan tidak ada orang yang berkewajiban menafkahinya.
2.       Masâkîn ; yaitu orang yang mempunyai harta atau usaha sebanyak seperdua kecukupannya atau lebih tetapi tidak mencukupi. Yang dimaksud dengan kecukupan yaitu cukup menurut umur biasa 62 tahun, maka yang mencukupi dalam masa tersebut dinamakan “kaya”, tidak boleh diberi zakat, ini dinamakan kaya dengan harta. Adapun kaya dengan usaha, seperti orang yang mempunyai penghasilan yang tertentu tiap-tiap hari atau bulan, maka kecukupannya dihitung setiap hari atau setiap bulan. Apabila suatu hari peng hasilannya tidak mencukupi, hari itu dia boleh menerima zakat. Adanya rumah yang didiami, perkakas rumah tangga, pakaian dan lain-lain yang perlu dipakai tiap hari tidak terhitung sebagai kekayaan, berarti tidak menghalanginya dari tergolong fakir atau miskin.
3.       ‘Âmilîn ; yaitu semua orang yang bekerja mengurus zakat sedangkan ia tidak menerima upah selain bagin zakat.
4.       Muallaf  ; ada empat macam yaitu; (i) Orang yang baru masuk Islam, sedang imannya belum teguh. (ii) Orang Islam yang berpengaruh dalam kaumnya, dan kita berharap kalau dia diberi zakat, orang lain dari kaumnya akan masuk Islam. (iii) Orang Islamyang berpengaruh terhadap kafir kalau dia diberi zakat, kita akan terpelihara kita akan terpelihara dari kejahatan kafir yang ada dibawah pengaruhnya. (iv) Orang yang menolak kejahatan orang yang anti azakat.
5.       Riqâb ; hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya boleh menebus dirinya
6.       Ghârimin ; ada tiga macam yaitu; (i) Orang yang berhutang  karena mendamaikan antara dua orang yang berselisih. (ii) Orang yang berhutang untuk kepentingan dirinya sendiri pada keperluan yang mubah atau yang tidak mubah, tetapi ia sudah bertaubat. (iii) Orang yang berhutang karena menjamin hutang orang lain sedangkan dia dan yang dijaminnya itu tidak dapat membayar hutangnya.
7.       Fi sabîlillah ; yaitu bala tentara yang membantu dengan kehendak sendiri, sedangkan dia tidak mendapat gaji yang tentu, tidak pula mendapat bagian dari harta yang disediakan untuk keperluan berperang dalam dewan tentara. Orang ini diberi zakat meskipun ia kaya sebanyak keperluannya untuk masuk ke medan perang.
Ulama Fiqih mentafsirkan “sabîlillah” berpokok pada bala tentara. Tafsiran itu mengacu pada pada salah satu makna umum diantara makna yang banyak, karena makna itu yang terpenting menurut mereka, bukan karena hanya maknanya menurut logat Arab. Ibnu Atsir berkata, bahwa makna “sabîlillah” adalah semua amal kebajikan yang dimaksudkan berhampir diri kepada Allah, bukan tertentu pada peperangan, bukan pula lebih terang maknanya pada peperangan. Tidak seorangpun dapat memberikan makna sabîlillah hanya berartiu belanja untuk peperangan saja, pendapat yang demikian itu hanyalah diambil dari kata-kata ulama salaf yang tidak dapat dijadikan dallil.
Dalam ilmu Ushûl Fiqh bahwa kata yang umum itu wajib diartikan sebagaimana umumnya selama tidak ada dalil untuk mengkhususkannya, dan dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan maknanya. Jadi yang sabîlillah disini berarti umum meliputi semua yang diridlai oleh Allah SWT, seperti membenguan madrasah, masjid dan lain sebagainya yang bersifat dlariri untuk kepentingan dan kemashlahatan Islam. Menurut Al-Ghulayain, memberikan sedekah pada jalan Allah meliputi semua usaha kebaikan untuk kemaslahatan umum atau untuk menghindarkan segala kejahatan, kesulitan umum, seperti persediaan perlengkapan pertahanan, membengun madrasah dan lain-lain sebagainya yang bermanfaan dan kebaikannya berguna untuk umat.
Menurut Muhammad Rasyid Ridlo, bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan sabîlillah di sini adalah beberapa kemaslahatan kaum Muslimin umumnya yang menambah kekuatan agama Islam dan negaranya, bukan untuk perseorangan. Yang terpenting di masa kini ialah persediaan untuk propaganda penyiaran Islam, untuk membiayai pengiriman para Muballigh ke negri-negri non Muslim, organisasi-organisasi yang teratur untuk memperjuangkan Islam dan lain sebagainya. [33]
8.       Ibnu Sabîl ; yaitu orang yang mengadakan perjalanan dari negeri zakat, atau melalui negeri zakat. Dalam perjalanan itu ia diberi zakat sekedar ongkos untuk sampai kepada maksudnya, dan perjalanan itu pun bukan maksiat (terlarang), tetapi dengan tujuan yang sah.
Bagi pelajar yang bimbang akan kehilangan ilmu yang wajib, kalau mencari nafkah tidak dapat mencari ilmu karenanya, diantara ulama Syâfi’iyah ada yang berpendapat bahwa mereka boleh mendapatkan bagian zakat. Hal itu jika ilmunya itu dibilang wajib untuk dirinya dan diharapkan memberikan manfaat kepada umum, kalau tidak maka tidak boleh.
Zakat tidak boleh dipindahkan dari satu negeri ke negeri yang lain. Ini pendapat Asy-Syafi’i yang dianggap paling shahîh. Menurut Abu Hanifah hal itu dimakruhkan, terkecuali memang diberikan untuk kerabat yang sungguh-sungguh memerlukan. Imam Malik berpendapat bahwa hal itu tidak boleh, kecuali penduduk suatu negeri sangat membutuhkannya, maka boleh memindhkannya menurut kemashlahatan. Sedangkan Imam Ahmad tidak membolehkan memindahkan zakat ke daerah lain sejauh jarak yang boleh mengqashar shalat, sekalipun di negerinya sendiri tidak ada mustahiq zakat.[34]

III. PENUTUP
Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa membayar zakat merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang harus ditunaikan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, kewajiban ini bersifat pasti didasarkan pada nash Al-Qur’ân, Sunnah, dan Ijmâ’ ulama, yang harus ditunaikan sebagai rukun Islam yang ketiga.
Untuk memahami ketentuan bagaiamana kewajiban zakat itu dilaksanakan, harus mengkaji seluruh dalil-dalil nash yang ada, baik dari Al-Qur’ân maupun Sunnah secara kolektif, korelatif dan komperhensif. Apa yang telah menjadi ketetapan Syâri’ tentang wajibnya zakat ini tidak boleh ditentang. Oleh karenanya, barang siapa yang menentang dan tidak mnunaikannya tanpa alasan yang dapat dibenarkan Syara’, maka ia termasuk orang yang ingkar dan wajib diperang.  
Sesungguhnya diwajibkannya zakat dalam Islam - yang di ambil dari para aghniyâ’ dan dikembalikan kepada mereka (ashnâf delapan) yang membutuhkan - banyak terdapat hikmah yang agung, diantaranya yang terpenting ialah :
1.      Membantu orang-orang lemah yang tertimpa kesusahan dan memerlukam bantuan agar dapat menunaikan kewajibannya terhadap Allah SWT, dan terhadap masyarakat.
2.      Menbersihkan diri daripada sifat kikir dan ahlak yang tercela, serta mendidik diri berjiwa sosial, memiliki sifat mulia dan pemurah, membiasakan diri menyalurkan amanat kepada orang yang berhak serta berkepentingan, dan merupakan kepedulian terhadap nasib sesama dalam masyarakat.
3.      Sebagai ungkapan syukur dan terima kasih atas segala nikmat kekayaan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya.
4.      Mengantisipasi kemungkinan terjadinya kejahatan-kejahatan yang timbul antar sesama manusia.
5.      Mendekatkan hubungan kasih sayang dan saling mencintai antara yang miskin dan kaya, eratnya hubungan akan membuahkan beberapa kebaikan dan kemajuan serta  ketentraman hidup dalam masyarakat.



* **-  و  الله أعلم بالصّواب  و الحمد لله  - ***

DAFTAR PUSTAKA
1.       Al-Qathân, Mannâ’, Tafsîr Âyât Al-Ahkâm, juz II, cet. II, Kairo, Mathba’ah Al-Madaniy, 1964.
2.       As-Sâyis, Muhammad Ali, Syekh, Kulliyat As-Syari’ah : Tafsîr Âyât Al-Ahkâm, Kairo, Mathba’ah Muhammad Ali Sabih, 1985.
3.       As-Sâyis, Muhammad Ali, Syekh, Kulliyat As-Syari’ah Tafsîr Âyât Al-Ahkâm  (Muqarrarah As-Sanah Ats-Tsâlitsah), Kairo, Mathba’ah Muhammad Ali Shabih, 1953.
4.       Al-Wahidi, Ali bin Ahmad, Asbâb An-Nuzul, Beirut, Dar al-Fikri, 1991.
5.       Al-Bantani, Nawawi, Syehk, Marâh Labîd li kasyfi Ma’nâ Al-Qur’ân Al-Majîd, Juz I, cet III, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2006.
6.       Al-Jaziri, Abdul Rahman, Al-Fiqh ‘Alâ Madzâhib Al-Arba’ah, Juz I, Beirut, Dar Al-Fikr, 2004.
7.       As-Syirazi, Abu Ishaq, Al-Muhadzdzab fi Fiqh Imâm As-Syâfi’i, Juz I, Kairo, Dar Al-Fikri, 1994.
8.       Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islâm, Cet. XVII, Jakarta, Penerbit Attahiriyah, 1976.
9.       Ibnu, Rusd, Bidâyah Al-Mujtahid wa Nihâyah Al-Mustafîd, edisi Indonesia, Jilid I, Cet. I, Jakarta, Pustaka Azzam, 2006
10.   Ash-Shiddiqi, Hasbi, Prof., Dr., Hukum-hukum Fiqih Islam, Cet. V, Jakarta : Bulan Bintang, 1978


[1] Syehk Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd li kasyfi Ma’na Al-Qur’ân Al-Majîd (Tafsir Surat At-Taubah ayat 101-102) Juz I, cet III (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2006), hlm. 466
[2] Syekh Muhammad Ali As-Sâyis, Kulliyat al-Syarî’ah Tafsîr Âyât Al-Ahkâm, (Kairo : Mathba’ah Muhammad Ali Sabih), hlm. 46.
Bandingkan dengan : Abu Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi An-Naiasabury, Asbab An-Nuzul, (Beirut : Dar al-Fikri, 1991), hlm. 175
[3] Mannâ’ al-Qathân, Tafsîr Âyât Al-Ahkâm, juz II, cet. II, (Kairo : Matba’ah al-Madaniy, 1964), hlm. 388
[4] Muhammad Ali As-Sâyis, Kulliyat al-Syarî’ah Tafsîr Âyât Al-Ahkâm, hlm. 46
[5] Seperti bacaan Imam Hamzah, Al-Kisâ’i dan Hafs dari ‘Âshim. Adapun Imam-Imam yang lain membacanya dalam bentuk jama’. Lihat, Syehk Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd li kasyfi Ma’na Al-Qur’ân Al-Majîd, Juz I, cet III (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2006), hlm. 466
[6] Mannâ’ al-Qathân, Tafsîr Âyât Al-Ahkâm, hlm. 388-389
[7] Mannâ’ al-Qathân, Tafsîr Âyât Al-Ahkâm, hlm. 392-393
[8] Orang-orang yang enggan membayar zakat pada masa Abu Bakar berdalih dengan ayat tersebut, bahwa RAsulullah diperintah untuk mengambil zakat dan mendoakan mereka, menurut mereka bahwa do’a Rasul memberikan ketentraman, dan wajibnya membayar zakat disyaratkan adanya ketenraman itu, mereka berkata; tidak seorang pun yang mampu menempati kedudukan Rasul dalam hal olehnya memberi ketentraman. Karena itu membayar zakat tidak wajib kepada selain Rasul. Inilah yang dijadikan hujjah oleh orang-orang yang tidak mau membayar zakat pada masa Abu Bakar.
[9] Mannâ’ al-Qathân, Tafsîr Âyât Al-Ahkâm, hlm. 395
[10] 1 Shâ’ = 51/3 kati = 3,1 liter
[11] Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alâ Madzâhib Al-Arba’ah, Juz I, (Beirut : Dar al-Fikr, 2004), hlm. 531
[12] Ibidem, hlm. 531
[13] Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alâ Madzâhib Al-Arba’ah, Juz I,  hlm. 532
[14] Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alâ Madzâhib Al-Arba’ah, Juz I, hlm. 532-533
[15] Ibidem, hlm. 502-503
[16] Abu Ishaq As-Syirazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh Imâm As-Syâfi’i, Juz I, (Kairo : Dar al-Fikri, 1994), hlm. 197. Bandingkan, Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 503
[17] Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 507
[18] Abu Ishaq As-Syirazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh Imâm As-Syâfi’i, Juz I, hlm. 201-206
[19] 20  mitsqâl  = 93 gram. Ada yang mengatakan 20  mitsqâl  = 93,6 gram.
[20] 5 awâq = 200 Dirham = 624 gram.
[21]  Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alâ Madzâhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 517-518
[22]  Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alâ Madzâhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 519-521
[23] 1 wasaq = 60 Shâ’
    5 wasaq = 5 x 60 = 300 Shâ’
    1 Shâ’ = 3,1 liter
    300 x 3,1 = 930 liter (satu nishâb)
[24] Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alâ Madzâhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 522-525
[25] Hasbi Ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqih Islam, Cet. V, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hlm. 165
[26] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cet. XVII, (Jakarta : Attahiriyah, 1976), hlm. 200
[27] Ibnu Rusd, Bidâyah Al-Mujtahid wa Nihâyah Al-Mustafîd, edisi Indonesia, Jilid I, Cet. I, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2006), hlm. 546-549
[28] Muhammad Ali As-Sâyis, Kulliyat al-Syarî’ah : Tafsîr Âyât Al-Ahkâm (Muqarrarât as-sanah ats-tsâlitsah), (Kaoro : Mathba’ah ‘Ali Shobih, 1953), hlm. 30
[29] Syehk Nawawi Al-Bantani, Marâh Labîd li kasyfi Ma’na Al-Qur’ân Al-Majid, Juz I, hlm. 454
[30] Muhammad Ali As-Sâyis, Kulliyat al-Syarî’ah : Tafsîr Âyât Al-Ahkâm (Muqarrarât as-sanah ats-tsâlitsah), hlm. 31
[31] Muhammad Ali As-Sâyis, Kulliyat al-Syarî’ah : Tafsîr Âyât Al-Ahkâm (Muqarrarât as-sanah ats-tsâlitsah), hlm. 32
[32] Muhammad Ali As-Sâyis, Kulliyat al-Syarî’ah : Tafsîr Âyât Al-Ahkâm (Muqarrarât as-sanah ats-tsâlitsah), hlm. 32-33
[33] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, hlm. 203-204
[34] Hasbi Ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqih Islam, Cet. V, hlm.177