LARANGAN MEMPENGARUHI HAKIM

Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2) Ayat 188 : 
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ . [البقرة : ١٨٨]
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah : 188)
Gramatika / ‘Irāb
·   و تدلوا بها إلى الحكام  ; lafadz  " وتدلوا " ada kalanya  dibaca majzūm (shigat nahi), karena ‘athaf pada firman Allah sebelumnya (ولا تأكلوا...), dalam hal ini seakan-akan dikatakan; ".. وَلاَ تُدْلُوا..".
Ada kalanya dibaca manshūb karena perkiraan masuknya " أنْ " setelah huruf  " وَ " yang jatuh sebagai jawāb dari nahi, hal ini bermakna al-jam’u (mengumpulkan), seakan dikatakan; " وَ لاَ تَجْمَعُوْا  َبْينَ أنْ تَأْكُلُوْا أَمْوَالََكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ، وَ أَنْ تُدْلُوْا بِهَا إِلىَ الْحُكَّامِ ".
·   وَ أنتم تََعْلَمُوْنَ  ; jumlah ismiyyah menempati kedudukan nashab karena menjadi hāl dari dlamīr marfū’ pada lafadz " لتأكلوا..".
Tafsir Mufradāt
·    وَ لاَ تَأْكُلُوْا أمْوَالََكُمْ بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ ; Jangan sebagian kalian makan harta sebagian yang lain dengan cara yang tidak benar (menurut Syara’); yang dimaksud dengan "الأكل" : yaitu mengambil (al-akhdu) dan menguasai (al-istilā`), diungkapkan dengan lafadz"الأكل"  karena tujuan yang terbesar/terpenting dari harta adalah untuk dimakan.
Makan harta dengan cara bathil ini ada dua klasifikasi; pertama, didapatkannya harta itu dengan dengan perbuatan dhalim, seperti mencuri, merampas (ghasab) dan sebagainya; kedua, diperolehnya harta itu dari cara-cara yang dilarang, seperti judi, upah menyanyi, serta semua cara yang diharamkan oleh Syara’. Dan ayat di atas telah mewanti-wantikan keharaman semua itu; Lafadz " الباطل " secara bahasa adalah sinonim dengan dengan lafadz " الزائل"  dan  "الذاهب" berarti yang tergelincir atau yang hilang, sedangkan yang dimaksud di sini ialah yang diharamkan oleh Syara’, seperti mencuri, ghasab, dan mencakup semua pengambilan tanpa ganti atau tanpa ada kerelaan dari pemiliknya, atau mentasharufkan kepada sesuatu yang nyata-nyata tidak ada manfaatnya.
·   و تدلوا ..  ; kamu berikan sejumlah harta itu kepada para Hakim, sebagai suap agar kamu mendapatkan keputusan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan (yang kamu kehendaki).
·   بالإثم  ; dengan berbuat dosa, yakni perbuatan dhalim dan aniaya; termasuk persaksian palsu, sumpah dusta, dan sebagainya. Semua itu merupakan perbuatan dosa, karena dosa itu tergantung pada pelakunya.
·   و أنتم تعلمون  ; sedangkan kalian tahu, bahwa kalian orang yang salah dan berbuat dosa, ini menunjukkan mubālaghah (keterlaluan) dalam olehnya berani dan berbuat kemaksiatan.
Sabab Nuzūl
Muqatil bin Hayyan berkata : ayat ini turun mengenai prihal Amru’ Qays bin Abbas Al-Kindy dan ‘Abdan bin Asywa’ Al-Hadlrāmy. Jelasnya, keduanya bersengketa tentang sebidang tanah dan membawanya kehadapan Rasulullah SAW, dalam pada itu Amru’ Al-Qays sebagai pihak yang dituntut (terdakwa), dan ‘Abdan bin Al-Hadramy sebagai penuntut. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat ini (Al-Baqarah : 188), Rasulullah SAW memenangkan ‘Abdan pada sebidang tanahnya, dan dengan keputusan itu Amru’ Al-Qays pun tidak menentangnya.
Sa’id bin Jabir berkata ; bahwasa Amru’ bin Qays bin Abbas dan ‘Abdan bin Asywa’ Al-Hadlrāmy bersengketa mengenai sebidang tanah, lalu Amru’ Al-Qays menginginkan ‘Abdan bersumpah, maka turunlah ayat ; " ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل .." .
Munāsabah
Hubungan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya jelas, yaitu berhubungan dengan orang yang mengerjakan ibadah kepada Allah SWT; berpuasa, menahan nafsu dari kebiasaan makan, minum, menggauli istrinya pada siang hari, dan segala larangan dalam puasa. Demikian tidakl selayaknya makanan dan minuman yang ia santap kecuali yang jelas-jelas halal lagi bersih, yang bisa membuat hati menjadi terang/bercahaya, dan menambah kepekaan/ketajaman mata hati (bashīrah), yang dapat mendorong semangat/kesungguhan dalam beribadah. Oleh karena itu maka Allah melarang memakan barang-barang haram yang menjadikankan puasanya tidak diterima.
Tafsīr & Penjelasan
Dalam ayat-ayat puasa Allah SWT telah menjelaskan halalnya seseorang memakan sebagian dari hartanya, di sini Allah menghubungkannya dengan penyebutan hukum memakan harta orang lain.
Allah SWT melarang sebahagian diantara kita memakan harta sebahagian yang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syara’. Kata "أموال" diidlāfah-kan kepada jamā’ah/orang banyak (kepada dlamīr كُمْ) supaya timbul perasaan bahwa pada hakikatnya harta itu adalah harta umat atau jama’ah/orang banyak, yaitu umat yang satu, sepenanggunagan yang saling menanggung satu sama lain. Juga sebagai peringatan untuk saling menghormati dan menjaga harta milik orang lain, menghormati dan menjaga (supaya tetap) pada pemiliknya (yang sah). Maka berbuat aniaya atau merampas harta milik orang lain merupakan tindakan kriminal terhadap umat, karena ia termasuk individu dan bagian anggota pada kesatuan umat. Kata "أموال" disandarkan kepada dlamīr manhi (yakni dlamīr " كُمْ ", menjadi mafūl dari "لا تأكلو .."), menunjukkan bahwa masing-masing individu, kesemuanya dilarang. 
Memakan harta secara bathil mencakup segala bentuk perolehan harta yang tidak benar. Seperti riba dan judi; keduanya termasuk mengambil harta tanpa ada gantinya, suap dan membela kebathilan; karena keduanya termasuk membantu perbuatan dhalim, bersedekah kepada orang yang mampu berusaha; karena itu akan merendahkannya dan ia tidak boleh mengambilnya kecuali jika terpaksa, mencuri dan ghasab; karena keduanya merupakan perbuatan aniaya (menggunakan tanpa hak) terhadap harta orang lain, baik itu terhadap materinya maupun manfaatnya, atau berbuat aniaya terhadap manfaat harta orang lain, seperti memperkerjakan tanpa upah, atau mengurangi upah, makan harta anak yatim secara dhalim, upah dari tari-tarian dan menyani, bayaran pelacur, upah meramal, membuat jimat-jimat dan menghatamkan Al-Qur’an, dan segala harta yang diambil dengan cara tipu daya dan kebohongan dan cara-cara haram lainnya, yang dapat menghantarkan kepada neraka; oleh karena setiap anggota tubuh yang tumbuh dari barang yang haram, maka baginya neraka lebih semestinya.
Larangan memakan harta dengan cara bathil, juga hadir dalam ayat-ayat lain. Diantaranya ialah ;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا .[النساء : ٢٩]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’ : 29)
Diantaranya juga firman Allah :
 إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا . 
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (QS. An-Nisa’ : 10)
Makna " و تدلوا بها إلى الحكام " ; jangan kalian memberikan harta kepada para hakim sebagai upaya untuk menyuap mereka, karena mengambil harta orang dengan perbuatan dosa, seperti sumpah dusta atau persaksian palsu, dan semua yang dapat menghantarkan kepada keharaman. Ayat ini mencakup dua segi; pertama, memberikan harta kepada para hakim sebagai suap, yang dengan maksud agar para hakim itu memenagkan mereka dengan cara bathil dan mengambil hak orang lain; kedua, mengangkat suatu keputusan (masalah) terhadap juru hukum dengan berpegang pada argumentasi (hujjah) yang bathil, dan mendeskreditkan kebenaran, persaksian palsu, dan sumpah bohong.
Inilah yang diingatkan oleh Nabi SAW dalam haditsnya Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Malik, Ahmad, dan Ashhāb al-kutub as-sittah (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah), Ummu Salamah berkata ; “aku berada di sisi Rasulullah SAW, kemudian datang dua laki-laki yang bersengketa mengenai harta warisan dan suatu masalah lain, lalu Rasulullah SAW bersabda” : “ Aku hanyalah manusia biasa, sedangkan kalian bersengketa kepadaku, bisa jadi sebagian diantara kalian lebih lihai dalam berargumentasi daripada yang lain, maka aku memenangkannya berdasarkan apa yang aku dengar, maka barang siapa yang aku menangkan baginya daripada sesatu hak saudaranya, janganlah ia mengambilnya, karena aku memotongkan baginya potongan api neraka”, lantas kedua laki-laki yang bersengketa itu menangis, dan masing-masing keduanya berkata; “Aku halal untuk sahabatku, kemudian Nabi SAW bersabda; “Pergilah kalian dan tetaplah bersaudara, kemudian undilah dan hendaknya masing-masing seorang diantara kalian menghalalkan hak sahabatnya”.
Beberapa Aspek Hukum
Ayat tersebut melarang semua individu umat Muhammad untuk memakan harta sebagian mereka diantara mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang tidak benar, ini meliputi; perjudian, penipuan, ghasab, menentang kebenaran, apa yang tidak direlakan oleh pemilik, atau yang diharamkan oleh Syara’ sekalipun diberikan atas kerelaan, seperti bayaran pelacur (tukang zina), upah dukun, harga hasil jual khamr, babi, dan segala yang mengarah pada permainan yang haram.
Termasuk diantara memakan harta dengan cara bathil yaitu; ketika seorang qādli memenangkan kamu, sementara kamu tahu bahwa kamu salah. Ayat tersebut jelas mengenai dosanya orang yang makan sedang ia tahu bahwa ia dhalim dengan perbuatannya (makan) itu. Adapun jika tidak tahu maka tidak berdosa baginya. Yang haram tetap haram, tidak otomatis menjadi halal karena putusan hakim, karena hakim itu hanya menghukumi berdasarkan fakta zhahir, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Ummu Salamah di atas, Nabi menyesuaikan dengan wāqi’ (fakta yang ada saat itu).
Meski demikian, masih muncul perbedaan pendapat (Khilāf)  diantara para ulama mengenai tema ini;
Abu Hanifah berkata; Putusan hakim dapat terjadi secara dhahir dan bathin dalam masalah akad dan penceraian. Jika seorang hakim berdasarkan bukti menghukumi terjadinya akad atau batalnya akad maka hukumnya dapat berlaku, seperti halnya akad  yang dilaksanakan di muka, sekalipun saksi-saksinya itu adalah palsu. Sebagai contoh, jika seorang laki-laki mengaku bahwa ia telah menikahi seorang wanita, kemudian wanita itu mengingkarinya, lalu ia mendantangkan dua orang saksi palsu, kemudian halim memutuskan telah terjadinya akad antara keduanya maka halal bagi laki-laki itu untuk istimtā’ dengannya, demikian jika hakim memutuskan terjadinya thalāk, maka terjadilah perceraian antara keduanya, sekalipun laki-laki itu mengingkarinya. Dapat berlakunya keputusan qādli, sebagaimana di atas terikat oleh dua syarat;
a)      Ia (qādli) tidak tahu bahwa keberadaan para saksi tersebut adalah palsu.
b)      Dalam hal-hal yang diperkirakan (dengan keputusan itu) ada kebaikan yang akan timbul.
Ali Karramallāhu wajhah pernah memutuskan suatu masalah, yang bisa menguatkan pendapat ini. Jelasnya, telah datang beliau seorang laki-laki yang mengaku sebagai suami atas seorang permpuan, sedangkan perempuan itu mengingkarinya, ia mendatangkan dua orang saksi, wanita itu berkata; “Sungguh aku tidak menikah dengannya”, Ali berkata padanya; “ dua orang saksi itu telah membuktikan pernikhan kamu’. Demikian halnya kisah li’ān Hilal bin Umayyah dengan istrinya, lalu Nabi SAW memutuskan pisah antara keduanya, dan itu setelah beliau mengatakan; “Jika anak itu dengan sifat begini, maka anak itu kepunyaan Hilal, jika dengan sifat begini, maka milik Syarik bin Sahma` ”, kemudian istrinya itu datang dengan sifat yang tidak disukainya, maka Nabi bersabda; “Sekiranya tidak karena sumpah yang telah lalu, pasti aku punya hak (menentukan) dan ia (istrinya) mendapat haknya”. Kisah tentang li’ān itu menunjukkan bahwa, seorang istri bisa saja sampai pada perceraian suaminya lantaran li’ān dusta, yang sekiranya hakim mengetahui kebohongannya pasti akan menolak dan tidak memisahkan keduanya. Ini tidak masuk dalam umumnya sabda Nabi SAW ; “..barang siapa yang aku menangkan baginya daripada sesatu hak saudaranya, janganlah ia mengambilnya ..”.
Menurut Jumhur ulama; keputusan hakim itu berlaku secara dhāhir bukan bāthin. Baik dalam masalah harta maupun hukum-hukum yang lain, seperti pernikahan, thalak, dan jinayat. Maka keputusan hakim tidak serta merta menghalalkan yang haram, tidak pula menimbulkan hak, tetapi ia hanya menampakkan dan mengungkap masalah-masalah itu sesuai dengan fakta yang ada, berdasarkan haditsnya Ummu Salamah di atas, yang dari padanya di ambil sebuah kaidan berikur ;
" نَحْنُ نَحْكُمُ بِا الظَّاهِرِ ، وَ اللهُ يَتَوَلَّى السَّرَائِرَ "
“ Aku memnghukumi dengan fakta dhāhir (yang kongkrit), Allah lah yang menangani sarāir (yang abstrak/tersembunyi)”
Inilah penerapan terhadap ‘ām, kecuali yang telah di-takhshīsh dengan nash seperti masalah li’ān.
Dalam keadaan apapun, tidak diperkenankan bagi orang mukmin menyelesaikan urusan terhadap hakim, dengan bertumpu pada bayaran dan melimpahkan perkara dakwaan, sedangkan ia tahu bahwa dirinya yang salah dalam dakwaan itu.
Tidak halal pula bagi seorang mukmin mengambil harta saudaranya atau yang bukan haknya, sekalipun qādli dalam keputusannya menetapkan harta itu untuknya; karena qādli adalah manusia yang tidak luput dari salah, ia memutus perkara berdasarkan fakta dhahir, sedangkan keutusannya tidak dapat mengubah fakta yang sebenarnya. Sesungguhnya yang pasti yang akan diperlihatkan adalah hisab yang benar dihadapan Allah SWT, yang mana tiada sesuatupun yang tersembunyi, dan manusia akan mendapatkan baladan sesuai dengan perbuatannya. Allah senantiasa meliput dan mengawasinya, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Dan hanya kepada-Nya lah seharusnya seorang muslim merasa takut secara dhāhir dan bāthin.
Memberikan harta kepada hakim sebagai suap hanya akan menyia-nyiakan harta itu, membuatnya lenyap/hilang percuma. Maka tidak dibenarkan bagi seorang muslim mensia-siakan harta dan menyuap para hakim, supaya mereka memenangkan baginya lebih banyak daripada haknya, atau sesuatu yang bukan haknya.
Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa orang yang mengambil apa yang dinamakan "مال" (harta) secara bathil, baik sedikit maupun banyak; bahwa hal itu akan menjadikan ia fasik, dan baginya haram mengambilnya.

HEGEMONI PEREKONOMIAN KAPITALISTIK DAN LAHIRNYA BANK SYARI'AH

Dengan jargon modernisasinya, peradaban barat yang kapitalistik sungguh telah mendominasi hampir di setiap lini kehidupan. Kenyataan yang demikian diperkuat keberadaannya ketika transformasi nilai yang ditanamkan oleh barat dijadikan sebagai kebenaran umum yang rasionalistik dan menjadi basis ananisis atas segala problematika yang muncul dalam kehidupan

Indonesia termasuk Negara yang mayoritas penduduknya Islam, dengan terjebak di bawah kendali dan pranata sistem yang diterapkan oleh barat. Hal ini menjadikan mereka beranggapan seakan pranata barat tersebut merupakan sistem yang paling benar dan baik. Akankah umat Islam terus-menerus berada dalam belenggu sistem hukum barat?.. Dari sinilah umat Islam harus kembali kembali menggali dan mengkaji ajaran yang tersembunyi dibalik Al-Qur'an maupun sunnah Rasul Saw serta fleksibilitas dalam menatap fenomena kontemporer yang secara implisit belum dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an maupun hadits.

Islam tidak bisa hanya difahami sebagai agama yang bersifat vertikal-transendental semata, tetapi keberadaannya sebagai tata aturan hidup (way of life) yang menyentuh segala aspek kehidupan dalam berbagai bidang, baik hubungan antara Tuhan dan manusia, manusia dengan manusia maupun dengan lingkungannya, dimensi-dimensi vertikal maupun horizontal, semua ada aturannya dalam agama Islam.
Sikap dikotomis antara hidup kekinian (dunia) dan kehidupan masa depan (akhirat) mengakibatkan pemaknaan yang sempit terhadap agama, implikasinya adalah kehidupan duniawi dipandang sebagai sistem yang berdiri terpisah dari agama sehingga pranata yang ada mereka landaskan pada tata aturan yang dibuat-buat sendiri dengan corak humanis-rasionalistik. Cara memahami Islam yang tidak proporsional akan menjadikan umat Islam terbelakang dan hanya menjadi penonton dalam berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, termasuk perkembangan ilmu ekonomi dan bisnis. Sehingga Konsep-konsep kemajuan hanya tersimpan di dalam kitab, tidak terwujud dalam kehidupan sosial yang nyata.

Dalam berbagai masalah tentang sistem ekonomi dan bisnis (mu'amalat) yang terjadi, merupakan suatu hal yang "naïf" ketika para penggali hukum Islam tidak mampu menyodorkan konsep-konsep untuk diterapkan dalam bentuk riil. Dan akan lebih parah ketika mereka mengatakan bahwa semua praktek yang ada sudah benar, atau mereka menyatakan bahwa semua praktek yang ada adalah "tidak sah!" dan "haram!" tanpa memberikan solusi yang benar menurut Islam dan dapat diaplikasikan dalam masyarakat.

Oelh sebab itu interpretasi yang positif dan kreatif terhadap Al-Qur'an dan Sunnah, serta dialektika dengan sistem ekonomi barat yang telah tumbuh dan berkembang dipandang perlu dalam upaya menemukan format sistem perekonomian yang relevan dengan nilai-nilai yang paling asasi dan dapat memenuhi tuntutan zaman. Ini menjadi keharusan untuk dilakukan dengan cermat dan serius, mengingat sistem perekonomian kapitalistik sudah sedemikian kuat mengakar dalam pranata masyarakat muslim yang seolah-olah paradigmanya merupakan keniscayaan alamiah yang tak terelakkan. Langkah ini bukan berarti mencampur adukkan berbagai nilai untuk mennemukan nilai baru, tetapi dalam memecahkan permasalahan ini digunakan suatu ukuran nilai untuk mengarahkan permasalahan tersebut agar kembali sesuai nilai-nilai dasarnya yang benar.

Sistem Bunga Bank Konvensional Dan Solusi Perbankan Syariah
Sistem bunga yang diterapkan dalam lembaga-lembaga perbankan diklaim sebagai imbalan bagi nasabah atau merupakan biaya bagi mereka yang meminjam, sehingga dipandang sebagai kewajaran yang dan sah-sah saja. Beberapa alasan logis yang sulit diubah ialah bahwa;
• bunga disamakan dengan upah atau gaji atau sewa atas barang kita yang dimnfaatkan oleh orang lain.
• Bunga dikatakan sebagai upah buruh atau gaji karyawan dan sewa bagi barang atau tenaga yang kitamiliki itu adalah biaya yang harus dibayar.
• Uang dianggap sama sebagaimana barang-barang yang lain, sehingga dapat diperjual belikan di pasar atau disawakan.

Pola pikir di atas sesungguhnya merupakan adopsi dari teori-teori kapitalis barat sebagaimana pada classical theory of interest dari Adam Smith dan David Ricardo yang mengatakan bahwa, bunga merupakan oppÿÿÿÿnityÿÿÿÿtÿÿf35ÿÿÿÿÿÿÿtrÿÿ ÿ5ÿ22ÿÿÿÿÿÿÿÿ darÿÿdebited moneys (uang yang dipinjamkan). Abstinence theory of interest dari Nassu William yang menganggap wajar apabila peminjaman dana rela membayar bunga sebagai imbalan atas kesederehanaan hidup pemilik uang. Dan Productivity theory of interest dari Bohm Bawerk yang memandang bahwa orang mau membayar bunga karena pinjaman itu merupakan tambahan modal yang akan menaikkan produktivitas usahanya.

Oleh karena itu kita dapat melihat Pada bank-bank konvensional misalnya, menerapkan sistem bahwa nasabah yang menyimpan dana akan memperoleh imbalan bunga sebagai kompensasi dari dana yang ia simpan, sedangkan peminjam dana dari bank yang memperoleh tambahan modal untuk produktivitas usahanya wajib membayar bunga bagi penyimpan untuk dana atau biaya operasional. Penentuan besar kecilnya bunga dalam hal ini diserahkan pada mekanisme pasar, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara tingkat bunga yang ditentukan oleh Negara (interest) dan bunga yang ditentukan oleh pelaku pasar (usury), maka persaingan tingkat suku bungapun terjadi untuk menjaring para penyimpan dana.

Dinamika tersebut diatas telah merasuk kedalam jiwa dan menjadi pola pikir para ekonom kita, sehingga sulit untuk dilepaskan. Namun di tengah hegemoni kapitalistik yang sedemikian ternyata muncul okonom-ekonom yang begitu kritis untuk mengkaji ulang keberadaan bunga baik dalam pendekatan syar'i maupun ekonomi yang berupaya meluruskan tatanan perekonomian dan sistem perbankan yang sesuai dengan syariat Islam. Mereka memposisikan uang sebagai alat pembayaran atau alat pertukaran yang dapat dipakai sebagai alat pengukur nilai, harga barang atau jasa. Maka dari itu transaksi yang sama hanya dapat terjadi dalam bentuk simpan pinjam, dan kegiatan tersebut sesuai dengan Al-Qur'an dan sunnah tidak boleh mengandung unsur tambahan atau bunga alias riba.

Fenomena munculnya perbankan syariah menjadi bahasan yang sangat fundamental dalam upaya mengimpelemtasikan ajaran Islam dalam pranata ekonomi, ditengah sistem perekonomian kapitalis barat yang begitu dominant di dunia. Perbankan alternatif tanpa bunga yang ditawarkan oleh oleh perbankan syariah selain menjauhi unsur riba dan menghilangkan unsur individualistik juga akan menumbuhkan kebersamaan dalam menghadapi resiko usaha dan keuntungan dengan bentuk simpanan bagi hasil atas usaha bank (tabungan dari depopsito mudharabah), Dan dari sisi penyaluran dana diterjemahkan dalam bentuk bagi hasil atas usaha nasabah.

Sekalipun isu munculnya bank tanpa bunga pada mulanya dianggap hanya sebuah mimpi disiang bolong, namun setelah dilakukan upaya-upaya serius dari umat islam untuk memungkinkan berdirinya bank dengan amanat syari'at akhirnya dapat terwujud. Kondisi ini dimulai dari pencarian setatus bunga dari kebekuan yang cukup menghambat realisasi ide berdirinya bank syariat yang pada akhirnya secara perlahan dapat ditemukan solusi pemecahannya. Menurut mantan mentri perekonomian kabinet Gus Dur mengatakan bahwa, kegiatan ekonomi yang berbasis syariah sangat bisa dikembangkan di Indonesia.

Dalam loka karya yang diselenggarakan MUI tanggal 18-20 Agustus 1990 di Cisaura bogor, Para ulama mengklasifikasikan bunga bank kedalam dua jenis, yaitu (a) bunga pinjaman/kredit, sebagian mereka ada yang menghukumi haram karena sama dengan riba dan sebagian menghuumi subhat karena tidak jelas. (b) bunga tabungan/ simpanan atau deposito,sebagian ada yang mengatakan tidak masalah dan sebagian menyamakan dengan riba yang hukumnya haram dan ada pula yang mengatakan haram.

Hasil Lokakarya tersebut kemudian dikukuhkan dalam Muktamar Nasional VI MUI di jakarta tanggal 22 - 25 Agustus 1990, dan diamanatkan kepada pengurus pusat MUI agar mengupayakan berdirinya bank umum yang operasionalnya sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Dengan proses yang panjang akhirnya membuahkan hasil dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang dibuka pada tanggal 1 Mei 1992 dan grand opening tanggal 15 Mei 1992. Dan dengan kesadaran masyarakat Muslim akan pentingnya perubahan dalam sistem perekonomian dan pola yang diterapkan dalam perbankan maka sistem syariah ini terus berkembang dan meluas jangkauannya hingga sekarang.


Mengenai konsep-konsep dan prinsip auditing yang diberlakukan pada perbankan syariah dalam Islam dapat kita lihat delam table sebagi berikut:

NAMA PRINSIP JENIS-JENIS PRODUK SYARIAH PENERAPAN DALAM SISTEM PERBANKAN KETERANGAN
Simpanan Al-wadi'ah Current account


Saving account wadi'ah dapat dikombinasi- kan dengan al-mudharabah untuk investasi.
wakalah untuk pembukaan L/C, kafalah untuk garansi.
Bagi hasil Mudharabah

Musyarakah

Muzara'ah
Musaqat Investment account saving account
Project financing
Letter of credit
Plantation project
Financing Deposit dapat dipergunakan untuk general investment melalui pool of finds.
Pengembalian keuntungan Bai' al murabahah
Bai, bithaman ajil
Bai' at takjiri
Bai' as salam
Bai' al istishna Trade financing
Letter of credit

Trade financing
Sewa Ijarah
Bai' at takjiri
Musyarakah-mutanaqisah Leasing
Hire purchase
Decreasing
participation
Pengambilan fee Al kafalah
Al hiwalah
Al ju'alah
Al wakalah Guarantee
Debts transfer
Special service
Letter of credit
Biaya administrasi Al qord al hasan Benevolent loan Biaya administrasi hanya dapat diambil untuk factor -faktor yang menunjang terjadinya kontrak serta dinyatakan dalam nominal

Dengan konsep-konsep ini, maka perbankan syariah akan lebih dapat mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat luas dan mampu menggerakkan sector uasaha riil.

SKETSA SEJARAH IKHWANUL MUSLIMIN


I. PENDAHULUAN
Penjelajahan tentang sebuah pemikiran, khususnya pemikiran politik Islam masih terbilang langka. Literatur keislaman yang menjelaskan hal tersebut tidak begitu banyak. Selain itu, pembahasan seputar politik biasanya bersifat netral. Politik yang berlatar belakang agama, hamper tidak dianut oleh agama-agama yang lain. Islamlah satu-satunya agama yang menurut para ulamanya, mempunaya kajian politik, sehingga lalu muncul istilah “politik Islam”.
Oleh karena itu, diskursus politik Islam menjadi pembahasan yang debatable sejauh mana Islam memberikan arahan terhadap politik. Banyak latar yang menjadi factor terpenting dalam diskusi ini. Bagi kalangan formalis, rujukan yang paling abasah untuk mengatakan, bahwa politik Islam adalah diskursus yang integral dalam tradisi Islam adalah Negara Madinah, yaitu Negara yang dibagun diatas garis-garis syariat Islam yang otentik, yang mana Negara secara umum dilandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum positif.
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan politik Islam?. Pertanyaan ini penting untuk di kemukakan, khususnya dalam rangka menduskusikan makna yang  tersimpan dalam diskursus politik Islam. Klaim atas politik Islam mempunyai macam-macam makna, dan ironisnya makna tersebut diklaim sebagai satu-satunya makna atas politik Islam. Salah stu makna yang menyedot perhatian sejumlah pengamat tentang politik Islam adalah munculnya gerakan-gerakan keagamaan, seprti halnya Ikhwanul Muslimin, sebagaimana yang akan kami bahas dalam makalah ini. Gerakan ini adalah salah satu dari gerakan yang mengampanyekan Negara Islam, Khilafah Islam dan formalisasi syaria’at yang mana diskursus tersebut mendominasi belantika pemikiaran politik Islam.




II. PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Ikhwanul Muslimin
Pertengahan abad ke-20 bagi dunia Islam merupakan masa munculnya banyak gerakan-gerakan dan organisasi. Lahirnya beberapa tokoh pembaharu seperti Al-Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Rida memberikan pengaruh yang besar terhadap kebangkitan perubahan masyarakat khususnya bagi bangsa Mesir yang pada saat itu hidup dalam kungkungan kolonialisme Eropa. Al-Afgani berupaya membangkitkan Islam dengan Pan Islamisme-nya, Abduh memperkuat Islam dengan mengajar dan mengeluarkan keputusan-keputusan hukumnya, dan Rasyid Rida membangkitkan semangat Islam dengan pikiran-pikiran logisnya. Ketiga tokoh ini sangat berpengaruh dalam membentuk opini, namun diantara mereka belum berhasil menciptakan perubahan dalam bidang politik. Mereka mendekati politik secara individual dalam bentuk pemikiran bukan melalui organisasi.
Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi pergerakan Islam yang didirikan oleh Hassan Al-Banna di Mesir pada 1928. Beliau lahir pada bulan Oktober 1906 di Mahmudiyah, sebuah kota kecil dekat muara sungai Nil sembilan mil sebelah barat laut Kairo. Ayahnya Abdurrahman Banna termasuk tokoh ulama terkemuka yang pernah menimba ilmu kepada Muhammad Abduh di Al-Azhar. Jadi Hasan Al-Banna hidup di tengah keluarga relegius yang sudah tersentuh oleh semangat pembaharuan.[1]
Dalam usianya yang masih belasan tahun Al-Banna telah aktif menjadi pengikut Tarekat Hasafiyah, dan sekitar usia enam belas tahun ia menjadi mahasiswa fakultas Darul Ulum Kairo. Ia memanfaatkan waktu di sela-sela kuliahnya untuk mengunjungi toko-toko buku Gerakan Salafiyah Rasyid Rida. Ia tertarik untuk membaca al-Manar dan berkenalan langsung dengan Rida. Ia terlibat banyak diskusi dengannya dan murid-murid Abduh. Selain itu Al-Banna juga mengunjungi para ulama Azhar dari kubu Tradisional.
Pada tahun 1927, Al-Banna lulus menyandang Diploma Guru dengan predikat cumlaude.[2] Lantas ia ditugaskan sebagai guru Sekolah Dasar di Isma’iliyah, pusat pertahanan kolonialis Inggris dan markas besar perusahaan terusan Suez. Selama di sana ia senantiasa menyaksikan langsung betapa liciknya para misionaris melakuakan kegiatan kristenisasi terhadap kaum Muslimin yang sedang dililit kemiskinan. Melihat keadaan yang demikian itu hatinya tergugah dan tergerak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kaum Muslimin dan berupaya membentengi iman mereka.
Al-Banna merasakan sangat sedih dengan adanya fenomena yang berlawanan; kekacauan dan perpecahan politik, makin suburnya dekadensi moral semakin jauhnya generasi muda dari tradisi agamanya, meluasnya antusiasme terhadap kebudayaan barat serta berlangsungnya kolonialisme yang menghisap ekonomi rakyat. Maka dengan tekun ia sebagai guru di sisng hari dan mengajar orang-orang tua pada malam hari. Ia juga mengadakan pertemuan-pertemuan di kedai-kedai kopi, lapangan olah rag pasar, dan lain-lain untuk menndengarkan keluhan-keluhan mereka terhadap situasi yang mengitari mereka.[3] Dari sini ia dapat mempengaruhi para tokoh masyarakat untuk turut prihatin akan nasib bangsa Mesir dan kaum Muslimin ke depan.
Tepatnya pada bulan Maret 1928, enam orang pekerja dari perkemahan Inggris[4] mendatang mengadu kepada Al-Banna. Dengan suara terbat-bata mereka berkata: kami telah sadar, juga telah terpengaruh, tetapi kami tidak tahu jalan apa yang harus kita tempuh untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin. Lalu merka berbaiat kepada Allah, untuk menjadi tentara Da’wah Islam, demi kejayaan tanah air dan kebangkitan Bangsa. Lalu salah atu dari mereka mengusulkan tentang nama gerakanyang pantas untuk jama’ah tersebut. Al-Banna menjawab; ``Tinggalkanlah lambang resmi itu!  yang terpenting dalam pertemuan kali ini adalah solusi bagaimana kita keluar dari keterpurukan ini, kita ini semua bersaudara untuk mengabdi kepada Islam, jadi kita ini “ Ikhwanul Muslimin”.[5] Sejak saat itulah Ikhwanul Muslimin lahir. Yang tujuan tidak lain memacu smangat generasi kaum beriman untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang benar, dan reformasi sosial bagi masyarakat Muslim.


B. Langkah-langkah Perjuagan Ikhwanul Muslimin
Sebelum terjun ke dunia politik
Dalam waktu yang tidak lama, Ikhwan sudah dapat merekrut anggota sebanyak tujupuluh orang. Dari langkah-langkah yang di lakuakn Al-Banna pada periode awal dari lahirnya Ikhwan tampaklah kecakapan dalam berorganisasi. Ia mampu meyakinkan Syaeih hamid ‘Askariyah seorang Da’i yang di tugasi al-Azhar di Isma’iliah untuk memperkuat Ikhwan. Ia juga mampu mengumpulkan dana dari para pekerja perusahaan Terusan Suez sebanyak LE 500 untuk di belikan sebidang tanah, kemudian di tanah itulah di dirikan sebuah masjid dan lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan dan kantor pusat Ikhwan di isma’iliyah. Dalam perkembangaannya kemudian kantor tarsebut juga difungsikan sebagai “perusahaan kecil” sebagai sumber dana Ikhwan; sekaligus berfungsi sebagai media untuk menerapkan Syariat Islam, dalam kehidupan sehari-hari.[6]
Merupakan inti dari dakwah Ikhwanul Muslimin adalah fiqrah (pemikiran) dan aqidah (keyakinan).[7] Mereka beripaya menancapkan keduanya ke dalam jiwa semua orang, menbangun opini umum dengannya, dan memantapkan keyakinan setiap orang dengan prinsip yaitu Islam. Sehingga mereka semua dapat terhimpun dalam satu ikatan yaitu ikatan ukhuah Islamiyah. Setelah lima tahun mengorganisasi Ikhwanul Muslimin di Isma’iliyah, lambat laun Hasan Al-Bana mengembangkan da’wahnya keluar Isma’iliyah. Cabang-cabang  Ikhwanun Muslimin di dirikan di Syibrakhit, mahmudiyah, Abu Suir, port Said, Bahrus Sagir, Suez dan Balah. Kemudian tepatnya pada Oktober 1932 Hasan Al-Bana pindah dari Isma’iliyah ke Kairo untuk menjalankan tugas sebagai guru di Madrasah Abbas di daerah Sabtiyah. Kepindahanya ini akan menjadi era baru bagi Ikhwan. Rupanya Hasan Al-bana merasa da’wahnya akan lebih sukses di Kairo, hal itu bukan hanya karena kepadatan penduduknya, akan tetapi karena Kairo merupakan ibu kota Mesir yang menjadi pusat kegiatan nasional. Untuk itulah ia mengusulkan agar kantor pusat Ikhwanul Muslimin di pindahkan ke Kairo, dengan demikian organisasi Ikhwan tidak hanya menjadi organisasi local, tetapi nasional.[8]  
Setelah terjun ke dunia politik
Setelah menyaksikan penderitan masyarakat buruh yang tak berujung, Hassan Al-Banna memadang perlu organisasinya untuk bergerak dalam bidang politik. pada mulanya kegiatan politik Ikhwan masih bergerak di bawah tanah dan bersifat rahasia. Pandangan politiknya di salurkan melalui masjid-masjid. Ikhwan mencari pendukung dan merintis jalan untuk mendirikan cabang-cabang secara rahasia melalui masjid.
Empat tahun kemudian Ikhwan mempunyai cabang hampir di seluruh daerah Terusan Suez. Dikawasan itu di dirikan masjid-masjid, sekolah, pusat-pusat pengajian dan industri-industri rumah tangga. Selain itu setiap mendirikan cabang baru Ikhwan juga membangun sekolah untuk pria dan wanita, disamping mendirikan masjid. Mereka juga mendirikan Rover (penjelajah), sesuatu gerakan pandu moderen yang melatih para Ikhwan muda secara fisik dan praktis. Rover ini kemudian menjadi kelompok pemuda yang berkuasa dan besar di Mesir pada perang dunia II. Ikhwan juga mengadakan sekolah malam untuk kaum pekerja dan juga bimbingan untuk ujian masuk pegawai negeri.
Organisasi ini mendirikan klinik dan rumah sakit di daerah-daerh pinggiran, ujuga mendirikan serikat dagang moderen, dan mengajarkan kepada para pekerja soal hak-hak mereka. Mereka secara terang-terangan mengumumkan pengeksploitasian terhadap kaum buruh, yaitu dengan mendirikan pabrik-pabrik sendiri sertra industri-industri ringan. Kemudian pada tahun 1933, untuk pertama kalinya Ikhwan menyelenggarakan Muktamar. Pada Muktamar ke-3 tahun 1939 Ikhwanul Muslimin menampakan diri sebagai vorganisasi politik. Sejak itu gerakan politiknya makin di segani serta berpengaruh bersar dalam kehidupan masarakat dan Negara Mesir.[9]
Dalam Muktamar tersebut di hasilkan beberapa program atau misi politik yang secara garis besar dirumusksn pada dua pokok permasalahan. Pertama, “Internasionalisai” yaitu gerakan yang menekankan perjuangan bukan hanya untuk membebaskan Mesir  tetapi juga seluruh tanah air Islam dari cengkraman imperialis. Kedua, menegakan “Negara Islam” yang merdeka di tanah air tersebut yang mempraktekan prinsip-prinsip Islam sebagai landasan yang kokoh dalam menerapkan sistem sosial dan menyampaikan da’wah kepada masyararakatnya secara arif dan bijaksana. Berdasarkan hal itu maka sasaran pokok perjuangan politik Ikhwan tertuju pada dua hal yaitu;
1.  Memerdekakan Mesir dan Negara-negara Islam lainnya dari kekuasaan asing.
2.  Mendirikan pemerintahan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist seperti kekhalifahan.
Untuk mewujudkan konsep khilafah, Ikhwan menetapkan tahapan-tahapan perjuangan, Pertama, membentuk pribadi muslim (ar-Rajul al-Muslim). Kedua, membentuk rumah tangga muslim (al-Bait al-Muslim). Ketiga, membentuk bangsa muslim (asy-Sya’b al-Muslim) dan Keempat, membentuk pemerintahan muslim (al- Hukumat al-Muslimah)[10] yang perwujudanya di mulai dari tingkat lokal dan pada akhirnya meliputi seluruh negeri muslim yang bersatu sebagai suatu Negara, yaitu al- Khilafah. [11]
Dalam rangka membangun dan mengembangkan Ikhwan Al-Banna mengembangkan sistem kaderisasi modern. Pada tahun 1938 anggota Ikhwan dibagi menjadi battalion-batalion yang masing masing trdiri dari tiga  kelompok; satu untuk pekerja, untukmahasiswa dan satu untuk para pengusaha dan pegawai. Kelompok-kelompok tersebut seminggu sekali bertemu melaksanakan tahajjud dan latihan sepiritual bersama-sama.
Pada tahun 1943, ketika system ini tidak mampu menghasilkan orang-orang yang diharapkan “batalyon” diganti dengan usrah (keluarga) yang masing-masing memiliki 10 orang anggota, merupakan satu unit tersendiri yang memiliki tanggung jawab atas segala aktifitasnya, yakni memastikan setiap anggotanya melaksanakan aturan-aturan Islam dan menjauhi yang dilarang.
Untuk mewujudkan tujuan dan sasaran perjuangan, Ikhwan menetapkan langkah-langkah yang progresif dan terkadang dibarengi tindakan keras. Tapi, karena Ikhwan sangat membenci kolonialis Inggris dan pengaruhnya terhadap pemerintah Mesir sangat besar, Inggris sangat mengkhawatirkan gerak dan perkembangan organisasi ini. Apalagi pada masa itu Ikhwan tidak dapat lagi menghindari bentrokan fisik dengan partai wafd yang berideologi sekuler. Bahkan bentrokannya sudah menjalar ke seluruh negeri sampai merembes ke universitas-universitas dan baru reda setelah pada tahun 1944 partai wafd dibubarkan oleh pemerintah kerajaan Mesir. Tapi, sikap saling mencurigai antara Ikhwan dan pemerintah muncul kembali setelah Mesir kalah dalam perang melawan Israel tahun 1948. Selama tahun 1948, Ikhwan mengajukan berbagai tuntutan kepada pemerintah Mesir dengan tindakan keras, bahkan Ia menghalalkan di bunuhnya perdana mentri Mesir Nuqrasyi.[12] Akibatnya pemerintah Mesir menyatakan Ikhwan sebagai organisasi terlarang
Oleh karena tarikan dakwah politik membawa Ikhwan melangkah lebih jauh dengan membentuk al-jihaz al-sirri (badan rahasia) merupakan bagian unit manjinal dalam Ikhwan dimana sampai tahun 1948 hanya beranggotakan sekitar 1000 orang. Kebanyakan ikhwan tidak mngetahui akitfitas dari badan rahasia tersebut, bagi mereka reformasi sosial dansepiritual adalah alasan terpenting munculnya Ikhwan. Sampai tahun 1948 mulai melakukan aksi pembunuhan dan mengatasnamakan Tuhan. Oleh karena tertutup dan brsifat rahasia maka aktifitas ini menyebabkan terjadinya fitnah politik dan mala petaka bagi Ikhwan.[13] Perbuatan mereka memicu serangkaian peristiwa, seperti terror pembunuhan Ahmed A-Khazzinder tahun 1948, seorang hakim terpandang dan berpuncak padapembunuhan terhadap perdana mentri M. Nukrashi Pasha pada 28 Desember 1948,
Dari sinilah sebenarnya mulai muncul sempalan kubu keras. Dan tidak terelakkan bahwa dalam organisasi dakwah ini di klaim terdapat sayap terorisme dan mersenjata. Al-Banna sendiri kualahan mengendalikan unit terror ini sekalipun ia menghujat pembunuhan-pembunuhan itu. Perbuatan mereka telah menodai kredibilitas moral Ikhwan dan akhirnya mengakibatkan hancurnya organisasi tersebut. yang pada akhirnya berakibat terbunuhnya Hassan Al-banna 12 Februari 1948, dibunuh oleh agen-agen dinas rahasia pemerintah Mesir.  
 Pada akhir tahun (1951-1954) Ikhwan diperbolehkan lagi dibawah pimpinan baru Hasan Hudaibi (wafat 1973) semenjak itu gerakan ini tidak tampil dalam gelanggang politik secara terbuka. untuk mencapai tujuan perjuangan disamping politik, Ikhwan mengembangkan di bidang kemanusiaan dan perekonomian ,sebagai sarananya Ikhwan mendirika rumah sakit, lembaga-lembaga pendidikan, penerbitan, percetakan, pabrik, dan perusahaan-perusahaan di bidang pertanian. Sebagai organisasi pergerakan Islam yang masuk kancah politik, Ikhwan tidak dapat menghindar dari berbagai aksi-aksi kekeras dan radikal.
C. Prinsip-prinsip dan Doktrin Ikhwanul Mislimin
Islam merupakan agama yang universal yang mencakup seluruh aspek kehidupan,[14] inilah diantara prinsip Ikhwanul Mislimin tentang Islam. Mereka tidak mengenal adanya pemisahan agama dan Negara. Ikhwan dengan tegas menantang konsep sekulerisme. Ikhwan berpendapat bahwa Islam bukan sekedar agama. Islam merupakan sistem perundang-undangan yang lengkap untuk kehidupan manusia (Nizam al-hayat). Dalam Islam terdapat dasar-dasar sistem politik, ekonomi, kemasayrakatan, kenegaraan, perundang-undanganan, dan seluruh sistem lain kehidupan manusia.
Ikhwan berusaha keras memperluas kawasan geraknya sampai menjadi gerakan internasiaonal. Berkenaan dengan dakwah Ikhwan, Hassan Al-Banna, mengatakan,” gerakan Ikhwan adalah gerakan dakwah salafiah, tariqah, sunnah, haqiqah, dan shuffiyah, lembaga politik klub olah raga, dan pemikiran soial secara luas.  
Sedangkan mengenai karekteristik Ikhwan Hassan Al-Banna mengatakan sebagai berikut ;
·         Gerakan Ikhwan adalah gerakan rabbaniyyah. Poros sasaranya adalah mendekatkan manusia kepada tuhannya.
·         Gerakan Ikhwan bersifat alamiyyah karena arah gerakan di tujukan kepada umat manusia, dan yang membedakannya hanyaklah taqwa.
·         Gerakan Ikhwan bersifat Islami karena orientasi dan nisbatnya hanya kepada Islam.
Al-Banna menekankan pentingnya jihad, terutama di era modern. Hal itu dimaksudkan untuk melawan musuh-musuh Islam (kolonialisme Eropa dan Negara-negara Muslim yang korup). Dengan demikian dapat membangun wilayah yang benar-benar Islami serta mendorong umat Islam untuk mentaati way of life yang terdapat dalam ajaran Islam. Jadi jihad merupakan keniscayaan dalam perjuangan menegakkan cita-cita politik Islam.[15]
Sementara pada tingkat amaliyah yang dijadikan proses perjuangan khwan  diantaranya:
a.       Memperbaiki diri sehingga menjadi pribadi yang fisiknya kuat, teguh, dalam  berakhlak, luas dalam berfikir.
b.      Membentuk rumah tangga Islami sehingga keluarganya menjadi pendukung pemikiran (fikrah)
c.       Memotivasi masyarakat untuk menyebarkan kebaikan,memerangi kemungkaran dan kerusakan.
d.      memerdekakan Negara dengan membersihkan rakyatnya dari berbagai bentuk kekuasaan asing yang kafir di bidang politik ekonomi ataupun mental spiritual.
e.       Mengembalikan eksistensi Negara-negara Islam dengan memerdekakan negerinya dan menghidupkan kembali keagungannya.
f.       Menjadi guru dunia dengan menyebarkan Islam ke tengah-tengah umat manusia sehingga tidak ada fitnah.
Sebagai organisasi Islam yang bergerak dalam dakwah dan politik Ikhwanul muslim menekankan hal-hal sebagaiberikut ;
a.       menjauhi titik-titik khilafah
b.      menjauhi dominasi tokoh dan pembesar
c.       menjauhi fanatisme partai-partai dan golongan-golongan
d.      memperhatikan masalah takwin (pembentukan kepribadian) dan tadarruj (bertahap) dalam langkahnya
e.       mengutamakan sisi amaliah yang produktif di atas seruan-seruan dan    propaganda-propaganda kosong.
f.       semangat menaruh perhatian kepada pemuda
g.      cepat berkembang di pedesaan dan perkotaan
Al-Banna merumuskan enam butir program yang sangat kental pengaruhnya gerakan reformis salafiyyah Al-afghani,Muhammad Abduh dan Rasyid ridha,yaitu:
1.  Penafsiran al-quran sesuai dengan semangat atau konteks zaman.
2.  Persatuan Negara-Negara Islam.
3.  Peningkatan taraf hidup dan keadilan sosial dan ketertiban.
4.  Pemberantasan buta huruf dan kemiskinan.
5.  Pembebasan tanah-tanah kaum muslim dari dominasi asing.
6.  memajukan perdamaian dan persaudaraan Islam ke seluruh dunia.
Demikianlah prinsip-prinsip dan dokrin Ikhwan yang lahir dari pndirinya Hasan Al-Banna. Pada awal berdirinya sangat Islami dan cenderung berpikiran sangat ideal. Namun dalam perkembangannya mengalami pergeseran setelah organisasi tersebut meluas, hingga meninbulkan versi yang berbeda-beda mengenai penilaian akan organisasi yang sangat fenomenal tersebut.
D. Kesimpulan
Besarnya pengaruh Ikhwanul Muslimin di Mesir dan dunia Arab, tidak terlepas dari factor kesamaan nasib dan tujuan untuk menyuarakan hak-hak umat Islam di tengah rong-rongan kolonialisme. Kesamaan kultur bangsa Arab, juga memperkokoh penerimaan  Negara-negara Arab terhadap Ikhwanul Muslimin.
 Secara garis besar aktivitas dakwah Al-Banna dan Ikhwanul Muslimin di dasarkan kepada beberapa aspek ;
a.        aspek agama dan moral; untuk meningkatkan kesadaran beragama dan menghadapi dekadensi moral harus kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
b.       aspek sosial; beramal untuk kemaslahatan umat adalah bagian dari misi sosial muslim.
c.        aspek pendidikan; pendidikan dalam kegiatan Al-Banna menjadi aspek sentral, sebab di dalamnya mencakup aspek akal, ahkak, jasmani, jihad, sosial, dan politik.
d.       aspek ekonomi; melihat perekonomian Mesir yang terpuruk akibat dominasi asing, maka Al-Banna dan Ikhwan bangkit membela kaum lemah, dengan  cara membangun industri-industri kecil dan kegiatan swadaya.
e.        aspek politik; Sebenarnya Al-Banna bukan politikus, namun keharusan diterapkannya hukum Islam secara konsekwen dan menyeluruh telah mendorongnya untuk berpolitik.
Kelemahan Al-Banna nampak pada ketidak mampuannya mengontrol dan mengendalikan pergerakan Ikhwan yang semakin meluas dan berbagai aksi kekerasan serta terror yang dilakukan oleh Badan Rahasia Ikhwan yang sangat radikal. Hingga pada perkembangannaya organisasi tersebut dinyatakan terlarang.
Kegagalannya dalam berpolitk praktis mengakibatkan  Ikhwan  berbalik kepada peran semula di bidang dakwah, Sehingga Ikhwanul Muslimin lekat dengan cirikhas kaum fondamentalis, yaitu; kembali kepada syariat, formualasi bangunan fisik dan penegakan symbol-simbol keislaman secara formal.


Daftar Pustaka

§  Zada, Khamami & , Arafah, Arif R, Diskursus Politik Islam, Cet. I, hal. 78 (Jakarta : LSIP, 2004)
§  Suito, Deny, Radikalisme Di Dunia Islam, Cet. I, (Jakarta: CCM, 2005).
§  Ghazali Said, Imam, Idiologi Kaum Fomdamentalis, Cet. I (Surabaya : Diantama, 2003)
§  Ali, DR., Abdul Halim, Mihaj al-Tarbiyah ‘Inda Ikhwan al-Muslimin, edisi bahasa Indonesia, cet. I, (Jakarta : Gema Insani, 1997)
§  Hawwa, Sa`id, Membina Angkatan Mujtahid, edisi Indonesia, Cet. V,  (Solo : IKKAPI, 2005)


[1] Baca, Imam Ghazali Said, Idiologi Kaum Fomdamentalis, cet. I, hal.152-153 (Surabaya : Diantama, 2003)
[2] Lihat, DR. Ali Abdul Halim Mahmud, Mihaj al-Tarbiyah ‘Inda Ikhwan al-Muslimin, edisi bahasa Indonesia, cet. I, hal. 23 (Jakarta : Gema Insani, 1997)
[3] Imam Ghazali Said, Idiologi Kaum Fomdamentalis, cet. I, hal. 154 (Surabaya : Diantama, 2003)
[4] Mereka adalah; Hafid Abdu Hamid, Ah. Al-Hasri, Fuad Ibrahim, Abd. Rahman Asbullah,Isma’il ‘Iz, dan Zaki Al-Magribi
[5] Baca, Op.Cit, hal 156
[6] Imam Ghazali Said, Ibid, hal. 156
[7] Baca, Sa`id Hawwa, Membina Angkatan Mujtahid, edisi Indonesia, Cet. V, hal,46 (Solo : IKKAPI, 2005)
[8] Lihat, Ibid, hal. 157
[9] Deny Suito, Radikalisme Di Dunia Islam, Cet. I, hal. 66 ( Jakarta : CCM, 2005).
[10] Baca, Khamami Zada, Diskursus Politik Islam, Cet. I, hal. 79 (Jakarta : LSIP, 2004)
[11] Baca, Deny Suito, Ibid, hal. 66
[12] Dalam suatu kesempatan Hasan Al-Banna kemidian merubah pendapat itu, karena pembunuhan terhadap perdana Mentri akan berakibat fatal dan mengancam dirinya sendiri. namun terlambat karena Ikhwan dari unit al-jihaz al-sirr telah berhasil membunuah Nakrasyi.
[13] Baca, Deny Suito, Radikalisme Di Dunia Islam, Cet. I, hal. 78 (Jakarta: CCM, 2005).
[14] Baca, Khamami Zada, Diskursus Politik Islam, Cet. I, hal. 78 (Jakarta : LSIP, 2004)
[15] Lihat, Ibid, hal. 80