I. PENDAHULUAN
Perlu diketahui bahwa, setiap ketetapan hukum dalam Islam selalu di dasarkan pada sumber-sumber yang otentik; yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Jika secara eksplisit tidak ditemukan pokok penyelesaiannya maka melalui ijtihad dan kesepakatan (ijmâ’) para mujtahid, kendati pun cara ini tidak bisa ditempuh maka, seorang mujtahid akan menggunakan analogi (qiyas) untuk menemukan pemecahan atas suatu persoalan baru yang terjadi. Urutan dari dasar-dasar hukum ini telah disepakati oleh jumhur ulama’. Ini penting untuk kita ketahui, karena pada dasarnya segala persoalan itu tidak ada yang tidak ada penyelesaiannya. Sekalipun para ulama berbeda-beda jalan yang ditempuh dalam menemukan titik penyelesaian, tetapi metode yang mereka gunakan itu tidak lepas dari nilai-nilai yang terdapat dalam sumber pokoknya yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Secara spesifik makalah ini akan mengupas permasalahan seputar ijmâ’. Penting untuk diketahui bahwa ijmâ’ dalam Islam merupakan landasan terkuat ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Ijma’ yang merupakan penyatuan pendapat, pandangan dan hasil ijtihad dari para mujtahid yang berkompeten yang disatukan dalam sebuah kesepakatan pada suatu hukum tertentu atas suatu masalah yang terjadi. Ijmâ’ sesungguhnya merupakan jalan untuk menguatkan pemahaman hukum Syara’ yang ada dalam pemikiran atau hati kaum Muslimin dan perantara untuk memperkaya khazanah fiqih Islam, menyambut adanya istimbath dan menjawab persoalan-persoalan baru dan problematika yang berkembang dalam masyarakat. [1]
Secara spesifik makalah ini akan mengupas permasalahan seputar ijmâ’. Penting untuk diketahui bahwa ijmâ’ dalam Islam merupakan landasan terkuat ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Ijma’ yang merupakan penyatuan pendapat, pandangan dan hasil ijtihad dari para mujtahid yang berkompeten yang disatukan dalam sebuah kesepakatan pada suatu hukum tertentu atas suatu masalah yang terjadi. Ijmâ’ sesungguhnya merupakan jalan untuk menguatkan pemahaman hukum Syara’ yang ada dalam pemikiran atau hati kaum Muslimin dan perantara untuk memperkaya khazanah fiqih Islam, menyambut adanya istimbath dan menjawab persoalan-persoalan baru dan problematika yang berkembang dalam masyarakat. [1]
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijmâ’
Secara etimologi, kata ijmâ’ mengandung dua arti, yaitu:
1. Ijmâ’ berarti العزم على شيئ yakni, ketetapan hati untuk melekukan sesuatu atau keputusan berbuat swesuatu. Seperti dikatakan dalam Surat Yunus ayat 71 ;
فَاَجْمِعُوْا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَائُكُمْ ..
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu ..”
2. Ijmâ’ berarti “sepakat” seperti disebutkan dalam Ayat 15 Surat Yusuf ;
فَلَمَّا ذَهَبُوْا بِهِ وَ أَجْمِعُوْا أَنْ يَجْعَلُوْهُ فِيْ غَيَابَةِ الْجُبِّ ..ّ
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dalam sumur..”
Sedangkan secara istilah Syara’ terdapat beberapa rumusan yang berbeda yang dikemukakan oleh berbagai ulama. Diantaranya ialah :
1. Menurut Ulama Sunni
a. Al-Ghazali merumuskan ijmâ’ yaitu ;
"Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas siatu urusan agama".
Pandangan Al-Ghazali ini sesuai dengan pandangan Imam Syafi’i yangmenetapkan ijmâ’ sebagai kesepakatan umat.
b. Al-Amadi merumuskan ijmâ’ sebagai berikut ;
الإجماع عن اتفاق جملة أهل الحلّ و العقد من أمة محمّد في عصر من الأعصار على حكم واقعة من الوقائع
"Kesepakatan sejumlah Ahli al-Halli wal-Aqdi (para ahli yang berkompeten mengurusi umat dari umat Muhammad pada susatu masa atas hukum suatu kasus".
Dengan definisi ini, tampaknya Al-Amadi membatasi ijmâ’ itu pada kesepakatan orang-orang tertentu dari umat Nabi Muhammad yang mempunyei fungsi sebagai pengurai dan pengikat atau pada ulama yang membimbing kehidupan keagamaan umat Islam.[3] Namun demikian lebih lanjut Al-Amadi masih memberikan kemungkinan masuknya orang awam dalam penetapan ijmâ’ denagn ketentuan ia telah mampu berbuat hukum. Untuk itu lebih lanjut ia memberikan definisi alternative atas ijmâ’ ;
عبارة عن اتفاق المكلّفين من أمة محمّد في عصر من الأعصار على حكم واقعة من الوقائع
Kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada susatu masa atas hukum suatu kasus.
c. Abdul Wahab Khalaf merumuskan definisi ijmâ’ yaitu ;
اتفاق جميع المجتهدين من المسلمين في عصر من العصور بعد وفاة الرسول على حكم سرعي في واقعة من الوقائع [4]
“Consensus semua mujtahid musli pada suatu masa setelah Rasul wafat atas suatu hukum Syara’ mengenai suatu kejadian”
Definisi yang dikemukakan oleh kalangan Ahli Sunnah berkisar pada apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh ulama di atas meskipun berbeda dalam perumusannya, yang intinya ialah kesepakatan ulama atau Ahli al-Hal wal-Aqdi.
2. Menurut ulama Syi’ah
Definisi yang berbeda secara substansial adalah yang dikemukakan oleh ulama Syi’ah, merka tidak menitikberatkan pada kata جميع (semua) tetapi cukup dengan جماعة (sekelompok atau beberapa orang) asalkan kelompok tersebut mempunyai wewenang untuk menetapkan hukum. Rumusan mereka tentang ijmâ’ ialah ;
اتفاق جماعة لاتفاقهم في إثبات الحكم الشرعي
Kesepkatan suatu komunitas yang karena kesepakatan mereka dalam menentukan hukum syara’.
Ulama Syiah tidak mengharuskan kesepakatan menyeluruh. bagi mereka cukup kesepakatan kelompok, karena pada dasarnya kelompok ini bukan untuk menetapkan hukum tersendiri di luar yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Ijmâ’ bagi mereka hanya merupakan jalan menemukan Sunnah sesseorang yang dianggap ma’shum yaitu Nabi Muhammad dan Ahlul Bait.[5]
B. Unsur-unsur dan Rukun Ijmâ’
Berangkat dari definisi yang dikemukakan oleh kalangan Ahli Sunnah pada umumnya, maka dapat disimpulkan adanya unsure-unsur pokok yang sekaligus menjadi rukun ijmâ’ yaitu :
1. Di saat terjadinya suatu peristiwa yang memerlukan ijmâ’, terdapat beberapa mujtahid yang berkompeten.
2. Semua mujtahid itu melakukan kesepakatan dalam menetapkan hukum atas peristiwa tersebut. Tanpa memandang dari mana Negara aslinya.
3. Kesepakatan itu tercapai setelah masing-masing mengemukakan pendapatnya sesuai dengan hasil ijtihadnya secara terang-terangan.
4. Kesepakatan para mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu ketetapan hukum.
C. OBJEK IJMÂ’
Objek ijmâ’ ialah semua peristawa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadah ghairu mahdhah, bidang muamalat, dan bidang kemasyarakatan yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Hadist.[6]
D. Kemungkinan Terjadinya Ijmâ’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadainya ijmâ’ ; Sebagian ulama diantaranya Al-Nazham dan sebagian pengikut Syiah berpendapat bahwa ketententuan di atas tidak munagkinterjadi ijmâ’ secara penuh. Alasannya ;
1. tidak ada suatu ukuran yang pasti untuk mengetahui dan menetapkan apakah seseorang telah mencapai tingkat pendidikan tertentu yang menyebabka ia patut disebut mujtahid. Karena secara formal tidak ada lembaga yang menghasilkan mujtahid.
2. walaupun ada pendidikan untuk menyatakan seorang telah mencapai derajat mujtahid, namun untuk dapat menghimpun pendapat mereka semua mengenai suatu masalah memerlukan suatu hukum secara meyakinkan atau dengan dengan yakin adalah tidak mungkin karena mereka berada dalam lokasi yang berjauhan.
3. tidak ada jaminan bahwa setiap mujtahid yang telah mengungkapkan pendapatnya tentang hukum suatu masalah tetap dalam pendiriannya, karena syarat melangsungkan ijmâ’ itu ialah kesepakatan itu berlaku dalam suatu masa tertentu ketika terjadinya peristiwa yang memerlukan ijmâ’.
4. mencapai kebulatan pendapat di kalangan mujtahid secara massal adalah susatau yang sangat sulit terjadi, karena hakikat ijmâ’ itu adalah kebulatan pendapat dalam kesepakatan.
Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa ijmâ’ (secara universal) tidak mungkin terbentuk jika persoalannya diserahkan kepada perorangan. Akan tetapi Ijmâ’ bisa dilaksanakan dengan dipimpin oleh pemerintahan masing-masing negara Islam. Yaitu dengan cara; setiap pemerintah menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang untuk sampai pada tingkat mujtahid. Kemudian mereka diberi kewenangan untuk berijtihad. Apabila pemerintah telah mengetahui pendapat para mujtahidnya serta ada kesepakatan dari seluruh pemerintahan dunia Islam , maka inilah ijmâ’. Dan dengan adanya ijmâ’ yang seperti ini maka seluruh kaum muslimin wajib mengikuti. [7]
Besarnya kemungkinan terjadinya ijmâ’ terutama dalam masa yang serba maju. Di era globalisasi dengan kemajuan teknologi informasi dewasa ini apa yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf sangat mungkin terjadi karena meskipun mujtahid itu bertebaran di muka bumi sangatlah mudah memprtemukan mereka dalam susatu masa tertentu untuk membicarakan masalah hikum, setidaknya untuk menghimpun pendapat mereka.
Imam Syafi’i berasumsi bahwa ijmâ’ secara mutlak tidak bisa terjadi oleh karena di dasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut ;
1. Para fuqaha berdomisili di berbagai tempat yang saling berjauhan, sehingga mereka tidak mungkin dapat bertemu.
2. Terjadinya perbedaan pendapat di antara para fuqaha yang tersebar di berbagai daerah di seliruh Negara-negara Islam.
3. Tidak adanya kesepakatan para ulama tentang orang-orang yang diterima ijmâ’nya
4. Tidak adanya kesepakatan para ulama yang berhak untuk berpendapat dalam masalah-masalah fiqih.[8]
E. Macam-Macam Ijmâ’
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijmâ’ benar-benar terjadi namun dalam kitab-kitab usul fiqih diterangkan tentang adanya tingkatan ijmâ’. Macam-macam tingkatan ijmâ’ itu dapat ditinjau dari berbagai segi ;
1. Ditinjau dari segi cara terjadinya ijmâ’;
- ijmâ’ sharîh, yaitu pendapat yang diutarakan secara jelas dan tegas baik berupa ucapan atau tulisan atau dengan kata lain ijmâ’ hakiki.
- Ijmâ’ sukûti yaitu pendapat sebagian para mujtahid yang menyatakan dengan jelas dan tegas tetapi mereka tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang dikemukakan Mujtahid lain yang hidup dimasanya.
Mengenai ijmâ’ Sukuti ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat ;
1) Ulama Syafi’i dan mayoritas Fuqahâ tidak memasukan ijmâ’ sukuti ini kedalam katagori ijmâ’.
2) pendapat sebagian Fuqahâ memasukan ijmâ’ sukûti ke dalam katagori ijmâ’, hanya saja tingkat kekuatanya dibawah ijmâ’ sharih.
3) ijmâ’ sukûti dapat dijadikan argumentasi (hujah) akan tetapi tidak termasuk kedalam katagori ijmâ’.[9]
Argumentasi ulama yang tidak menganggap ijmâ’ sukuti sebagai hujjah syar’iyyah adalah :
1) Orang yang diam tidak dapat di anggap sebagai orang yang berpendapat. Dengan demikian seorang mujtahid yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain.
2) diam tidak dapat dipandang sebagai setuju karena diamnya seorang mujtahid mungkin setuju, mungkin ia belum ijtihad dalam masalah tersebut, mungkin juga ia telah berijtihad tetapi belum memperole kemantapan.
3) Dengan segala kemungkinan diatas, maka diam tidak dapat dipandang sebagai hujah untuk menerima pendapat seorang mujtahid, maka ijmâ’ sukuti tidak dapat dijadikan hujah.
Sedangkan ulama yang memasukkan ijmâ’ sukutu ke dalam katagori ijmâ’ beralasan bahwa;
1) pda dasarnya diam tidak dapat dikatagorikan hujah kecuali sesudah merenung atau berpikir. Oleh karena itu jika ada seorang yang berdiam sesudah berpikir dan menganalisa permasalahan dari segala segi maka diamnya menunjukan suatu sikap.
2) Pada umumnya tidak semua pemberi fatwa (Mufti) itu memberikan keterangan pada suatu permasalahan.
3) Diamnya seorang mujtahid setelah merenung terhadap hukum (hasil ijtihad orang lain) yang bertentangan dengan hukum yang benar menurut ijtihadnya adalah haram. Dengan demikian berbaik sangka bahwa diamnya seorang mujtahid dapat dianggap ridla terhadap hasil ijtihd orang lain. Jika ia tidak rela serta tidak mau mengemukakan pendapat ynag benar menurut hasil ijtihadnya berarti ia telah berbuat dosa.
2. Ditinjau dari segi kepastian hukumnya ;
a. Ijmâ’ Qath’i yaitu hukum yang dihasilkan ijmâ’ diyakini benar terjadi, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berbeda dengan hasil ijmâ’.
b. Ijmâ’ Dhanni yaitu hukum yang dihasilkan ijmâ’ masih ada kemungkinan bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad.[10]
3. Ditinjau dari segi masa atau tempat terjadinya ijmâ’ ;
- Ijmâ’ Sahâbat, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
- Ijmâ’ khulafaurrasidin, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh Abu bakar, umar, Ustman dan Ali bin abi thalib. Namun setelah Abu bakar meninggal dunia ijmâ’ tersebut tidak dilakukan lagi.
- Ijmâ’ Shaikhân, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh Abu bakar dan Umar bin Khatab.
- Ijmâ’ ahli Madînah, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh ulama Madinah. Namun terjadi perbedaan antara Imam Malilki dan Imam Syafi’i. menurut Imam Syafi’i tidak dimungkinkan terjadinya ijmâ’ secara universal, sedangkan menurut Imam Malik hal tersebut bisa trjadi.
- Ijmâ’ Ulamâ kufah, yaitu ijmâ’ yang dialakukan oleh ulama kufah sehingga Madzhab Hanafi menjadikan ijmâ’ ulama kufah sebagai salah satu hukum Islam[11].
F. Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatasan Ijmâ’
Ulama Ahli Sunnah yang menetapkan ijmâ’ sebagai dalil yang berdiri sendiri sesudah Al-Qur’an dan Sunnah berbeda pendapat mengenai pembatasan dan persyaratan ijmâ’. Perbedaan tersebut dihubungkan dengan beberapa pembatasan dalam defenisinya dan dihubungkan kepada hadits Nabi SAW yang menetapkan umatnya tidak akan sepakat dalam kesalahan. Sebagaimana dalam sabda beliau ;
أمتي لا تجتمع على الخطاء ، أمتي لا تجتمع على الصلالة ، لم يكن الله بالذي يجمع أمتي على الضلالة ، لم يكن الله ليجمع أمتي على الخطاء .
“Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan, umatku tidak akan sepakat melakukan kesesatan, Allah tidak akan membuat Umatku sepakat untuk melakukan kesesatah, Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan”
1. Keikutsertaan Kalangan Awam dalam Ijmâ’
Ada perbedaan pendapat dapat atau tidaknya orang awam bukan mujtahid diperhitungkan sebagai anggota ijmâ’. Dalam artian apakah kesepakatan mereka itu menentukan sahnya ijmâ’ atau menyebabkan ijmâ’ tidak sah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan untuk melangsungkan suatu ijmâ’. Maksudnya ketika orang awam menolak atau menerima apa yang telah disepakati oleh mujtahid, maka ijmâ’ tetap berlangsung. Karena yang berhak menetukan hukum dalam ijmâ’ adalah orang-orang yang mampu memahami sumber fiqih dan mengeluarkan hukumnya. Tetapi sebagian ulama mengatakan bahwa suara orang awam juga ikut mementukan dalam penetapan ijmâ’, pendukung pendapat ini diantaranya ialah Qadli Abu Bakar dan merupakan qaul yang dipilih oleh Amidi.[12] Alasannya ialah bahwa pendapat umat mempunyai kekuatan hujjah karena berdasarkan hadits tersebut di atas.
2. Ijmâ’ Sesudah Masa Sahabat
Terdapat perbedaan ulama mengenai hal, apakah ijmâ’ itu hanya terbatas pada masa Sahabat dan tidak berlaku sesudahnya ; Mayoritas ulama menyatakan bahwa ijmâ’ mempunyai kekuatan hujjah, tidak hanya terbatas pada masa Sahabat saja, tetapi pada semua masa jika memang terpenuhi kriterianya. Karena dalil yag menunjukkan kehujjahannya tidak keluar dari Al-Qur’an, Sunnah dan logika. Semua dalil itu menjangkau setiap masa dan tidak memisahkan antara satu masa ke masa yang lainnya.
Daud Al-zahiri dan imam Ahmad dalam salah satu versi periwayatan menyatakan, bahwa ijmâ’ yang mempunyai daya hujjah hanyalah ijmâ’ pada masa Sahabat, karena pada pada masa itulah masa yang memungkinkan terjadinya ijmâ’ secara praktis, sebab pada waktu itu jumlah mujtahih masih terbatas dan wilayah domisili mereka relative berdekatan. Hanya pada masa itulah ijmâ’ dapat memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
3. Kesepakatan Mayoritas
Apakah dalam ijmâ’ jika telah disepakati oleh mayoritas mujtahid dan sebagian kecil tidak menyepakatinya, itu bisa disebut ijmâ’?. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa jika keadaannya demikian itu maka ijmâ’ tidak sah. Dalam riwayat dikatakan bahwa Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Abu Bakar Al-Razi, Abu Husein Khayyat dari Mu’tazilah dan Ahmad bin Hambal, dikatakan bahwa kesepakatan mayoritas mujtahid sudah mewakili dan dapat menghasilkan ijmâ’.
Sebagian ulama berpendapat bahwa jumlah minoritas itu bila sudah mencapai tingkat mutawatir maka ketidak sepakatai mereka bisa menyebabkan tidak terlaksananya ijmâ’. Tetapi kalau jumlahnya kecil dan tidak mencapai jumlah mutawatir, maka ketidaksepakatan mereka tidak mempengaruhi kelangsungan ijmâ’.[13]
4. Kesepakatan Ulama Ahli Madinah
Bila ulama Madinah telah sepakat mengenai suatu ketetapan hukum, sedangkan yang lain berpendapat lain, maka apakah kesepakatan ulama Madinah ini dapat dianggap sebagai ijmâ’?. Dalam hal ini terdapat perbedaanpendapat;
a. Jumhur ulama kesepakatan ulama Madinah saja belum bisa merupakan kekuatan hujjah atas ulama lain yang tidak sependapat dengan mereka, karena itu kesepakatan ulama Madinah itu bukan ijmâ’. Ini didasarkan pada alas an bahwa dalil-dalil yang menunjuk kehujjahan ijmâ’ itu juga mencakup ulama’-ulama lain di luar Madinah.
b. Ulama Malikiyah mennyatakan bahwa kesepakatan ulama Madinah adalah ijmâ’ dan mempunyei kekuatan hujjah terhadap ulama lain yang menyalahinya. Sebagian mereka menjelaskan bahwa periwayatan ulama Madinah itu lebih kuat daripada ulama lain di luar Madinah. Sebagian yang lain menjelaskan bahwa yang dimaksud ulama yang dimaksud dengan ulama Madinah yang kesepakatannya menjadi hujjah itu adalah para sahabat Nabi di Madinah.
Alasan dari ulama Malikiyah tersebut ialah bahwa ;
- Dari segi nash, Nabi pernah bersabda “Madinah itu suci yang dapat melenyapkan kotoran yang ada padanya sebagaimana bengkel besi yang melenyapkan karat-karat besi”. Dalam hal ini kesalahan diibaratkan karat yang dapat lenyap itu.
- Secara logika Madinah adalah tempat hijrahnya Nabi, Makam serta tempat turunnya wahyu, tempat kedudukan Islam dan tempat berkumpulnaya para sahabat. Karena itu kebenaran tidak akan menghindar dari para ahlinya.
- Warga Madinah menyaksikan sendiri ayat-ayat hukum dan yang paling tahu akan keadaan Rasul dibandingkan yang lain.
- Periwayatan ahli Madinah lebih diutamakan daripada periwayatan yang lainnya. Karena itu kesepakatan mereka pun menjadi hujjah atas yang lain.[14]
5. Kesepakatan Ahli al-Bait
Dalam pandangan Syiah Ahlul bait ialah keturunanNabi Muhammad melalui putrinya, Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib. Di kalangan Syiah berlaku pendapat bahwa kesepakatan Ahlul Bait atas suatu hukum dianggap ijmâ’ yang mempunyai kekuatan hukum terhadap ornag lain. Pengertian ini didasarkan kepada asumsi ucapan itu dikeluarkan oleh orang yang maksum.
Ulama Syiah mengemukakan beberapa alanas tentang terlepasnya Ahlul Bait dari dosa dan kesalahan dengan dalil-dalil sebagai berikut ;
a. Surat Al-ahzah (33) ayat 33 ;
إِنَّمَا يُرِيْدُ الله لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا ..
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Kata إنّما dalam ayat di atas berarti pembatasan. Mazhab Syiah berpendapat bahwa ijmâ’ yang dapat dijadikan argumentasi hanyalah ijmâ’ para Imam dan mujtahid yang mengikuti Mazhab Syiah.[15]
b. Dalil dari hadits
yang digunakan oleh Syiah untuk menguatkan argumennya ialah hadits yang disandarkan pada Nabi ;
دعني تارك فيكم الثقلين فإن تمسكتم بهما لن تضلوا كتاب الله و عتري
“Perkenankanaku meninggalkan pada kalian dua pedoman. Apabila kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnahku”
6. Kesepakatan Khulafaur rasyidin
Bila empat sahabat Nabi yang kemudian menjadi al-Khulafâ al-Râsyidin bersepakat tenatang suatu hukum, namun sahabat lain mempunyai pendapat lain, apakah kesepakatan mereka dianggap sebagai ijmâ’ yang mengikat umat Islam?. Dalam hal ini kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat ; Imam Ahmad dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa kesepakatan mereka adalah ijmâ’.
Dalam riwayat versi lain Imam Ahmad menyatakan bahwa kesepakatan mereka bukan ijmâ’, meskipun dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini diikuti oleh Qadli Abu Hasan, salah seorang sahabat Hanafi. Sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan Khulafa yang empat itu bukan ijmâ’ dan tidak bisa dijadikan hujjah apa adanya.
Alasan yang menyatakan bahwa kesepakatan mereak sebagai ijmâ’ yang mengikat itu didasarkan pada sabda Nabi SAW ;
عليكم بسنتي و سنة الخلفاء الراشدين من بعدي
“Wajib atas kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah Al-Khulafa Al-Rasyidin setelahku”
G. Kehujjahan (otoritas) Ijmâ’
Jika telah berlangsung ijmâ’ dan unsur-unsurnya yang empat dapat terpenuhi dan berjalan dengan baik, maka hukum yang disepakati dalam ijmâ’ tersebut menjadi undang-undang syara’ yang wajib dipatuhi dan tidak boleh ditolak.[16] Ketetapan hukum Ijmâ’ ini bersifat qath’i (meyakinkan) kebenarannya. Oleh karena itu ijmâ’ di nukil dari generasi ke generasi haruslah melalui khabar mutawatir.
Tentang penukilan dengan khabar ahâd tedapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian Syafi’iyah, sebagian Hanafiyah dan ulama Mazhab Hambali berpendapat bolehnya menukil ijmâ’ dengan khabar ahâd. Sedangkan sebagian Hanafiyah dan Sebagian Syafi’iyah – seperti Al-Ghazali_ berpendapat tidak boleh. Kedua kelompok ulama tersebut sepakat bahwa ijmâ’ yang ninukil dengan khabar ahâd kekuatan hukumnya bersifat dhanni, sekalipun ia bersifat qath’îdari segi materi (sanad) hukumnya.
Bukti atas kehujjahan ijmâ’ adalah bahwa :
a. Allah SWT memerintahkan untuk taat kepada ulil amri, sebagai mana perintah taat kepada Allah dan Rasulnya. Sebagaimana firman-Nya ;
يآ أيها الذّين أمنو أطيعوا الله و أطيعوا الرّسول و ألي الأمر منكم .. (النساء : 53)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu..”
Kata al-amr pada ayat di atas bererti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedangkan ulul Amri dalam masalah agama ialah para mujtahid dan ahli fatwa, Ibnu Abbas menagsirkan nya sebagai ulama’. Ulama tafsir lain menafsirkannya penguasa. Demikian penafsiran mencakup semuanya. Jika ulil Amri dalam hal ini adalah para mujtahid, dan mereka sepakat menempuh ijma terhadap suatu masalah hukum maka wajib ditaati dan dilaksanakan. Barang siapa yang menyalahi jalan orang-orang mukmin makai ia termasuk orang yang menentang Rasul dan mereka akan terperosok dalam kesesatan.[17] Sebagaimana firman Allah ;
و من يشاقق الرّسول من بعد ما تبيّن له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نولّه ما تولّى ونصله جهنّم و سآءت مصيرا. (النساء 115)
“ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu[348] dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali".
b. Semua hukum yang telah disepakati para mujtahid umat Islam, pada dasarnya merupakan hukum umat Islam yang diolah oleh para mujtahid. Dalam hal ini, terdapat dahits Rasulullah dan beberapa atsar sahabat, bahwa umat akan terpelihara dari kesalahan. Sebagaimana sabda Nabi ;
أمتي لا تجتمع على الخطاء ، أمتي لا تجتمع على الصلالة ، لم يكن الله بالذي يجمع أمتي على الضّلالة ، لم يكن الله ليجمع أمتي على الخطاء ..
“Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan, umatku tidak akan sepakat melakukan kesesatan, Allah tidak akan membuat Umatku sepakat untuk melakukan kesesatah, Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan”
Juga sabda Nabi SAW ;
مَا رءَاهُ الُمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ ..
“Apa-apa yang menurut pandangan umat Islam Itu baik, maka menurut Allah, itu juga baik”.
Semua itu lantaran kesepakatan para mujtahid terhadap hukum Islam mengenai suatu kejadian yang dilatarbelakangi oleh perbedaan pendapat dan lingkungan mereka, disamping sempurnanya beberapa sebab. Hal ini karena perbedaan yang ada pada mereka merupakan petunjuk bersatunya hak dan kebenaan mereka, dan menghilangkan unsure-unsur perbedaan yang ada pada mereka.
c. Bahwa ijmâ’ terhadap hukum syara’ itu harus didirikan pada landasan hukum syara’, karena mujtahid itu mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Jika didala melakukan ijtihad mengenai hal-hal yang tidak ada nash, maka ijtihadnya tidak diperkenankan melanggar batas-batas di dalam memahami nash dan dalil. Jika pada suatu kejadian tidak terdapat nash, maka ijtihad tidak bisa dilakukan dengan melanggar batas pengambilan hukum walaupun dengan jalan qiyas terhadap hukum yang terdapat nashnya. Selain ijmâ’ berfungsi sebagai upaya mencari hukukm terhadap adanya kejadian, ijmâ’ juga bisa digunakan sebagai ta’wil dan tafsir terhadap nash, disamping sebagai ‘illat hukum nash-nash dan memberi penjeladan berbagai keadaan yang berhubungan dengan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Al-Fiqhi, cet. XII, Kairo, Al-Nasyir, 1978.
2. Mukhtar, Kamal, Ushul Fiqih, jilid I, Yogyakarta, PT. Dana Bakti Wakaf, 1995.
3. Al-Ghazali, Imam, Al-Mustashfa, juz II, Beirut, Dar Al-Fikri, 1986.
4. Zuhaili, Wahbah, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, juz I, cet. I, Damaskus, Dar Al-Fikri, 1986.
5. Syarifudin, Amir, Ushul Fiqih, jilid I, cet. I, Cipitat, PT Logos Wacana cet III, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995.Ilmu, 1997.
6. Abu Zahra, Muhammad, Prof., Ushul Al-Fiqh, edisi bahasa Indonesia,
End Note