QIYAS SEBAGAI METODE PENETAPAN HUKUM

Muhammad Harun Ibnu Yusuf Qasem
 
 I.      PENDAHULUAN
Dalam Islam kita mengenal pokok-pokok yang dijadikan landasan atau sumber hukum. Selain al-Qur’an, sunnah dan ijma’, ada pula qiyas (analogi). Sebuah mekanisme untuk mengetahui sebuah hukum dengan cara menganalisis terlebih dahulu permashlahan baru yang timbul dan mengkaitkan permashlahan tersebut dengan dalil-dalil hukum Islam yang ada yaitu al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Apa bila tidak ditemukan kejelasan hukumnya, barulah metode qiyas ini digunakan, yakni menerapkan hukum atas permasalahan yang sudah jelas nash-hanya pada masalah baru tersebut setelah diyakini adanya kesamaan dalam ‘illat hukumnya.  Kajian ini menjadi penting, dan akan lebih menarik ketika muncul mashlah-mashlah baru (kontemporer) yang secara eksplisit tidak ditemukan jawabannya pada kitab-kitab hukum Islam yang disusun oleh para ulama terdahulu.
Oleh karena qiyas ini didasarkan pada penalaran akal, maka diantara ulama dari berbagai golongan tidak ada satu kata sepakat terhadap otoritas qiyas. Sebagian mereka ada yang mengakui dan menerima bahkan mengharuskannya untuk dijadikan landasan hukum, sementara sebagian yang lain ada yang menolak penggunaannya dan ada yang bersikap di taengah-tangah. Masing masing mereka memiliki alasan serta dasar atas argumen mereka pegangi itu.
Makalah ini sedikit banyak akan memberikan gambaran seputar terik-trik qiyas dan dasar-dasar yang menjadikan qiyas dapat dijadikan sebagai landasan, dalil atau metode dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah baru yang timbul yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Serta kamiketengahkan disini kelompok kelompok pendukung dan penolak qiyas sebagai dasar hukum Islam dan alasan-alasan yang mereka ambil baik dari al-Qur’an, Hadits Nabi Saw ataupun alasan-alasan logis. Mari kita lihat.
II. PEMBAHASAN
A. Definisi Qiyas
Secara etimologi, qiyas berarti ukuran, atau diartikan mengetahui ukuran sesuatu ( تقدير شيئ بشيئ آخر ) , membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain(تسوية شيئ بشيئ آخر)  dalam ungkapan misalnya;  قست الميدان بالذراع   (saya mengukur lapangan itu dengan hasta).
Adapun secara terminologi terdapat banyak definisi yang dikemukakan oleh para ulama’ ushul mengenai qiyas.[1] Diantaranya ialah sebagai berikut;
1.      Muhammad Abdul Gani menyebutkan;
إلحاق أمر غير منصوص على حكمه بأمر آخر منصوص على حكمه لاشتراك بينهما فى علة ذالك الحكم .
Qiyas ialah, menghubungkan sesuatu persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan suatu persoalan yang telah disebutkan oleh nash, karena diantara keduanya terdapat pertautan (persoalan) ’’illat hukum.
2.      Sadr al- Syari’ah, dari golongan ahli ushul Mazhab Hanafi menyebutkn;
تعدية الحكم من الأصل إلى الفرع لعلة متحدة لا تدرك بمجرد اللغة .
Qiyas yaitu membrlakukan hukum ashl kepaa hukum furu’ disebbkan kesatuan ‘‘illat yang tidak dapat icapai melalui pendekatan bahasa saja.
3.      Muhammad hudlari Beik menmgemukakan;
هو تعدية حكم من الأصل إلى الفرع بعلة متحد .
Qiyas ialah memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok (ashl) kepada cabang (persoalan yang tidak disebutkan) karena adanya pertautann ‘‘illat keduanya.

4.      Abdul Wahab Khalaf menyebutkankan bahwa qiyas menurut ulama’ ushul ialah;
إلحاق واقعة لا نص على حكمها بواقعة ورد نصبحكمها في الحكم الذي ورد به النص لتساري الواقعتين في علة هذا الحكم .[2]
Qiyas adalah, menyamakan hukum atas kejadian-kejadian baru yang belum ada nash hukumnya dengan kejadian-kejadian yang telah ada nash hukumnya, dalam hal berlakunya hukum nash karena adanya ‘illah hukum yang sama di antara kedua kejadian itu.
5.      Mayoritas ulama’ Syafi’iyah mendefinisikan qiyas dengan;
حمل غير معلوم على معلوم فى إثبات الحكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من حكم أو صفة
Qyas ialah, membawa (hukum) yang belum diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduany, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.
Para ulama klasik dan kontemporer dalam mendefinisikan qiyas – berdasarkan beberapa pernyataan diatas – sekalipun berbeda-beda redaksinya namun pada intinya saling berdekatan antara yang satu dengan lainnya. Mereka sepakat menyatakan bahwa proses menetapkan hukum melalui qiyas bukanlah berarti menetapkan hukum dari awal (itsbat al-hukmi wa insya’uhu), melainkan hanya menyingkap dan menjelaskan hukumnya (al-kasyfu wa izhhar li al-hukmi) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya melalui pembahasan mendalam dan teluti terhadap ‘‘illat dari suatu kasus atau kejadian yang dihadapi. Jika terdapat kesamaan ‘‘illat dengan hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum atas kasus yang dihadapi itu sebenarnya telah ditetapkan oleh nash,[3] hanya saja hukum tersebut baru ditemukan dengan cara analogi atau qiyas.
B. Rukun dan Syarat-syarat Qiyas
Rukun qiyas dan syarat-syaratnya adalah dasar yang sangat penting dalam aplikasinya, karena hasil penalaran dengan menggunakan qiyas bertumpu pada rukun dan syarat-syarat nya ini.
Rukun Qiyas
Telah menjadi kesepakatan para Ushuliyyin (ulama ushul) bahwa dalam melakukan penalaran analogis (qiyas) harus terpenuhu empat rukun yaitu :
a.       Adanya pokok ( الأصل )  yaitu persoalan yang telah ditetapkan hukumnya dalam nash. Ashl ini disebut juga al-muqis ‘alaih, yaitu ukuran yang menjadi sandaran qiyas. Dengan kata lain ashl merupakan obyek yang telah ditentukan hukumnya oleh ayat-ayat al-Qur’an, hadits Rasul Saw, atau ijma’.. Dalam kasus pengharaman segala yang memabukkan seperti, wisky, brendy, Donald dan sebagainya misalnya, maka yang menjadi pokok (ashl) di sini ialah khamr yang telah ditetapkan hukum haramnya melalui nash.
b.      Adanya cabang ( الفرع  yaitu persoalan atau permashlahan baru yang belum ada nash yang menjelaskan hukumnya dan ia akan disamakan hukumnya dengan pokok (ashl)-nya. Cabang ini disebut pula dengan المقيس  yakni yang diserupakan.
c.       Adanya hukum( الحكم )  yakni ketetapan hukum pada pokok yang nantinya akan diberlakukan pada furu’, baik yang ditentukan oleh nash atau ijma’. Dalam kasus khamr diatas ialah hukum keharaman minum khamr tersebut.
d.      Adanya ‘illah (العلة ) yaitu sifat atau keadaan yang terdapat dalam ashl (pokok) yang menjadi dasarpenetapan atau penyariatan hukum. Pemberlakuan hukum pokok pada cabang ini karena adanya kesamaan ‘‘illat antara keduanya.[4] Pada kasus khamr diatas ‘‘illat-nya ialah memabukkan.
Syarat-syarat Qiyas
Yang dimaksud di sini adalah syarat-syarat pada rukun qiyas. Para ulama usul fiqih mengemukakan bahwa rukun Qiyas yang telah di jelaskan ditas harus memenuhi syarat-syarat tertentu sehingga Qiyas dapat dijadikan dalil-dalil dalam menetapkan hukum. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :[5]
1.      Syarat-syarat bagi pokok (al-Ashlu)
Sebagai mana disebutkan oleh al-Ghazali persyaratan bagi pokok itu adalah:
a.       pokok hendaklah merupakan hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan di-naskh (dibatalkan)
b.      ketentuan hukum pada asahlu merupakan ketetapan syariat, karena apa yang ditetapkan dengan jalan rasio atau berdasarkan istilah kebahasaan tidak digolongkan kepada hukum syara’
c.       ashl bukan merupakan al-far’u dari ashl lainnya, artinya harus mempunyai ilat yang menjelaskan hukum syara’
d.      dalil yang menetapkan ilah pada ashl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum.
e.       ashl itu tidak berubah setelah dilakukan Qiyas.
f.       hukum ashl tidak keluar dari kaidah-kaidah Qiyas.
g.      hendaklah ada daliol yang memastikan ilat pada pokok yang tidak mencakup ilat pada cabang secara langsung.
2.      Syarat-syarat bagi cabang (al-Fa’ru)
Ada empat syarat yang telah disepakati oleh para ulama usul fiqih yang harus di penuhi oleh al-far’u yaitu:
a.       ‘Illat-nya harus sama dengan yang ada pada ashl baik pada dzatnya maupun pada jenisnya. Contoh ‘illat yang sama zat atau materinya ialah mengkiaskan wisky dengan khamr karena keduanya sama-sama memabukan, dan yang memabukan itu sedikit atau banyak apabila diminum hukumnya haram. Contoh ‘‘illat yang jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qishas atas perbuatan sewenang-wenang atas anggota badan kepada qishas dalam pembunuhan karena keduany sama-sama perbuatan pidana
b.      hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
c.       hukum far’u tidak mendahului hukum ashla. Contohnya masah wudlu dan tayamum.
d.      tidak adanya nash atau ijma’ yang menjelaskan far’u itu dengan kata lain cabang adalah perkara baru yang akan dicari ketentuan hukumnya melalui qiyas.
e.       cabang tidak boleh berlawanan dengan nash atau ijma. qiyas yang bertentangan dengan nas atau ijma disebut oleh para ulama usul fiqih sebagai qiyas fasid.
Dari syarat-syarat yang ditentukan baik oleh ulama usul kontenporer maopun klasik tidak terdapat perbedaan yang prinsipil. hanya saja menurut al-Ghazali hendaklah hukum yang diberlakukan pada cabang itu adalah ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh nash. Apabila telah ditetapkan pada pokok berdasarkan ‘illat maka demikian pula cabang-cabang.
3.      syarat-syarat bagi hukum al-ashl
Menurut para ulama usul fiqih bahwa syarat-syarat hukum ashl adalah sebagai berikut :
a.       tidak bersifat khusus, dalam arti tidak bisa dikembangkan kepada furu’ misalnya tentang kesaksian khuzaimah dalam riwayat dikatakan;
من شهد له خزيمة فحسبه

“kesaksian Khuzaimah sendirian sudah cukup”
 (HR Abu Daud, Ahmad bin Hambal, al-Hakim, al-Tirmidzi dan al-Nasai’)
Hadis ini tidak bisa di jadikan sebagai ashl, karena bersifat khusus. Sedangkan ayat Al-Quran menentukan bahwa sekurang-kurangnya saksi itu adalah dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan.
b.      hukum ashl tidak boleh keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas. Maksudnya suatu hukum yang ditetapkan berbeda dengan kaidah qiyas maka hukum lain tidak boleh di qiyaskan kepada hukum itu. Hal ini bisa terjadi dalam dua hal, yaitu:
  1. hukum yang ditetapkan itu tidak bisa dinalar (gharu ma’qulat al-ma’na).
  2. hukum itu merupakan hukum pengecualian yang di syariatkan sejak semula, seperti adanya rukhsah bagi musafir dalam men-jama’ atau meng-qoshar shalat atau berbuka puasa untuk menghilangkan kesulitan.
c.       tidak ada nas yang menjelaskan hukum far’u yang akan ditentukan hukumnya apabila hukum saal mencakup hukum ashl pada satu pihak dan hukum far’u pada pihak lain maka dalil yang mengandung hukum ashl juga merupakan dalil bagi hukum far’u. dalam hal seperti ini tidak diperlukan qiyas.
4.      Syarat-syarat bagi ‘illat hukum.
Syarat-syarat yang paling penting bagi ‘illat hukum ialah:
a.       ‘illat hukum hendaknya merupakan sifat yang jelas dalam arti bahwa ‘illat tersebut dapat dipahami oleh indra kitia baik pada pokok maupun pada cabang.
b.      ‘illat hukum hendaknya merupakan sifsat yang akurat dan  pasti. Maksudnya ia merupakan sifat yang bisa dipastikan karakternya dan ukuranya serta tidak terdapat hal-hal yang menyalahi atau menolakmya.
c.       illaat hukum hendaknya tidak hanyas terdapat pada pokok. Karena ‘illat itu merupakan darsar qiyas ia tidak boleh terbatas pada pokok saja  , karena qiyas adalah menyamakan cabang dengan pokok atas cdasar ‘illat hukum.
d.      ‘illat kukum hendaklah merupakan sifat yang pantas, sesuai dan cocok bagi penetapan hukum Syara’ untuk merealisirkan kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum.
Tentang syarat-syarat ‘illat ini para ulama usul berbeda pendapat umumnya ulama usul fiqih kontemporer, seperti Abdul Wahab khalaf, Zakaria al-Biri, Zaki al-Din Sya’ban dan Abu Zahrah, mereka menyebutkan bahwa ‘illat itu mempunyai empat sifat atau syarat seperti disebutkan diatas. Sementara Abdul Karim seorang ulama usul kontenporer menambahkan syarat yang kelima yaitu, hendaklah ‘illat merupakan sifat yang diterima oleh syari dan harus sejalan dengan maksud dan tujuan hukum.
Al-Ghazali menambahkan syarat yang nomor enasm yaitu, ‘illat hukum harus didukung oleh dalil, tidak boleh hanya dengan wawasan logika saja karwena ‘illat merupakan sesuatu yang bersifat syar’i. Imam Ibnu Subki menyebutkan bahwa qiyas memiliki sepuluh syarat sebagai mana yang dijelaskan dalam kitab Jamil Al-jawami’ dan
Al-Syaukani menyebutkan syarat-syarat ‘illat ada duapuluh empat.[6]         
C. Macam-macam Qiyas
Prara ulama ushul mengemukakan bahwa qiyas dapat dibagi dilihat dari beberapa segi, yaitu; [7]
1.      Ditinjau dari segi kejelasan ‘illat yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi menjadi dua yaitu;
a.       qiyas al-jaly, yaitu qiyas yang ‘illat-nya secara langsung telah ditetapkan oleh nash, atau penetapan ‘illat-nya tidak secara langsung akan tetapi keadaanya telah dipastikan dengan cara meniadakan pengaruh sifat yang membedakan antara ashl dan far’u. Seperti mengkiaskan amat (budak perempuan) pada ‘abd (budak laki-laki) dalam permasalahan sirayah (penjalaran hukum merdeka). Faktor perbedaan antara keduanya adalah faktor gender (jenis kelamin).
  1. Qiyas al-khafi, yaitu qiyas yang peniadaan pengaruh sifat pembeda antara ashl dan far’u-nya hanya sebatas prasangka. Sebagai mana mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat pada pembunuhan dengan beda tajam dalam penetapan hukum qishash, dengan adanya titik temu yang berupa sifat pembunuhan secara sengaja dan anarkhi. Dari syara’ tidak ada kepastian dalam menyikapi perbedaan yang ada antara ashl dan far’u.
2.      Ditinjau dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat dalam furu’ disbanding dengan yang ada pada ashl , qiyas dibagi kepada tiga bentuk yaitu :
a.       Qiyas al-Aulawy, yaitu qiyas yang hukum pada furu’-nya lebih kuat daripada yang terdapat pada ashl, karena ‘illat yangterdapat pada furu’ lebih kuat daripada yang terdapat pada ashl. Misalnya mengkiyaskan memukul kepada ucapan “ah” sebagaimana firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 23  ;
 “…Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Para ulama ushul mengatakan bahwa ‘illat larangan tersebut adalah menyakiti orang tua. Keharaman memukul orang tua lebih kuat daripada mengatakan “ah”. Kalau  mengucapkan kata “ah” kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi memukul, tentu itu lebih dilarang.
  1. Quyas al-Musawa, yaitu hukum yang ada pada furu’ asma kualitasnya dengan yang ada pada ashl, karaena kualitas ‘llat pada keduanya sama. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 2 ;
Artinya,  “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.
Ayat di atas melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar. Para ulama ushul fiqh meng-qiyas-kan membakar harta anak yatim kepada memakan harta mereka secara tidak wajar.
  1. Qiyas al-Adna, yaitu ‘illat yang pada furu’-nya lebih lemah dibandingkan yang ada pada ashl.sebagai contoh men-qiyas-kan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadl. Sebagaimana dijelaskan dalm sebuah hadits bahwa benda sejenis apabila di pertukarkan dengan berbeda kuantitas, maka perbedan itu menjadi riba fadl, akan tetapi berlakunya riba fadl pada apel lebih lemah daripada berlakunya pada gandum, karena ‘illat riba fadl pada gandum lebih kuat.
3.      Ditinjau dari segi keserasian ‘illat dengan hukum, qiyas dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :
a.       Qiyas al-Mu’atstsir, yaitu qiys yang menjadi penghubung antara ashl dan furu’ ditetapkan melalui nash sharih atau ijma’, contoh, hak perwalian dalam menikahkan anak dibawah umur  kepada hak perwalian atas harta, dengan ‘illat belum dewasa. ‘illat belum dewasa ini ditetapkan melalui ijma’.
b.      Qiyas al-Mula’im, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashl-nya mempunyai hubungan yang serasi. Misalnya meng-qiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuahan dengan benda tajam.
4.      Dilihat dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut, qiyas dibagi kepada tiga bentuk, yaitu :
a.       Qiyas al-Mani’ atau qiyas pada makna ashl, yaitu qiyas yang di dalamnya tidak dijelaskan ‘illat-nya, tetapi antara ashl dan furu’ tidak dapat dibedakan sehingga furu’ seakan-akan ashl. Contohnya, meng-qiyaskan membakar harta anak yatim pada memakannya, yang ‘illat-nya sama-sama menghabiskan harta anak yatim itu secara zalim.
b.      Qiyas al-Illat, yaitu qiyas yang telah dijelaskan ‘illat-nya, dan ‘illat itu senidri merupakan motivasi bagi hukum ashl. Sebagai contoh meng-qiyas-kan  nabidz (minuman keras yang terbuat dari perasan selain anggur) kepada khamr, karena kedua minuman tersebut sama-sama memberikn rangsangan yang kuat, baik pada ashl maupun pada furu’-nya.
c.       Qiyas al-Dalalah, yaitu qiyas yang ‘illat-nya mendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, tetapi ‘illat itu merupakan keharusan yang memberikan petunjuk adanya ‘illat. Misalnya, meng-qiyaskan nabidz kepada khamr dengan alasan “bau yang menyengat” yang menjadi akibat langsung dari sifat iskar-nya.
5.      Dilihat dari segi metode (masalik) dalam menemukan ‘illah qiyas dapat dibagi kepada ;
a.       Qiyas al-Ikhalah, yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan melalui ikhalah dan munasabah, yakni dengan cara menghimpun sejumlah sifat yang terdapat pada suatu ketentuan hukum kemudian memilih mana yang paling tepat untuk dijadikan sebagai ‘illat.
b.      Qiyas al-Syabah, yaitu yaitu qiyas yang ‘illah-nya ditetapkan melalui melalui metode syabah, yakni dengan mencari hubungan keserupaan ‘illat diantara hukum pokok yang berbeda, dimana satu sama yang lain mempunyai maksud tujuan yang sama.
c.       Qiyas al-Sibru, yaitu yaitu qiyas yang ‘illah-nya ditetapkan melalui metode penelitian dan uji kelayakan yang dilakukan oleh seorang mujtahid.
d.      Qiyas al-Thard, yaitu yaitu qiyas yang ‘illah-nya ditetapkan melalui metode thard ykni, penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya keserasian antara keduanya.
D. Kehujjahan (otoritas) Qiyas
Mengenai kedudukan qiyas sebagai dalil hukum, terjadi perbedaan pandangan diantara ulama ushul fiqih. Sebagian mengatakan bahwa qiyas termasuk sumber bahkan dalil hukum, sementara yang lain tidak demikian. Dari sejumlah literature, ditemukan bahwa paling tidak terdapat tiga kelompok ulama’ yang berbeda pendapat tentang keberadaan qiyas dan kehujjahannya sebagai hukum Islam.
Kelompok pertama, mengatakan bahwa qiyas adalah dalil dan sumber hukum. Dalam catatan Zaky al-Din Sya’ban.[8] Kelompok pertama ini menyatakan bahwa para Fuqaha’ (ulama) telah sepakat – dimana qiyas merupakan salah satu pokok atau dasar Tasyri’ dan dalil hukum Syariah. Kelompok ini disebut dengan kelompok pendukung qiyas (مثبت القياس) . landasan mereka adalah firman Allah :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".  (QS. Al-Nisa’ : 59)
Dan dari sunnah, mereka mendasarkan pada peristiwa Muadz bin jabal. Dan mereka juga melandaskan pada perbuatan dan ucapan-ucapan sahabat yang membuktikan bahwa qiyas adalah hujjah Syara’, mereka meng-qiyaskan masalah-masalah yang tidak memiliki nash dengan hukum yang ada nashnya dengan cara membandingkan antara yang satu dengan yang lain. Demikian ketika Umar bin Khathob berpesan kepada Abu Musa al-Asy’ari berkata;
ثم الفهم فيما أدلي إليك مما ورد عليك مما ليس فيه قرآن و لا سنة , ثم قايس بين الأمور عند ذلك و اعرف الأمثال ثم اعمد فيما ترى أحبها إلى الله بالحق ..[9]
Kelompok kedua, ialah kelompok yang menolak keberadaan qiyas sebagai dalil dan sumber hukum Islam. Kelompok ini dikenal dengan sebutan (نفاة القياس). Mereka terdiri dari kelompok al-Nizamiyah, Mu’tazilah, Daud al-Dhahiri, Ibnu Hazm dan sebagian kaum Syi’ah.[10] Ibnu Hazm menyatakan dengan tegas penolakannya berhujjah dengan ra’yu dan hanya berhujjah pada nash Al-Qur’an dan sunnah dengan memperhatikan makna lahirnya (zahirnya saja). Menurutnya, karena qiyas berpijak pada dugaan ra’yu tentang suatu ‘illat, dan apa yang dihasilkan oleh dugaan itu maka hasilnya pun bersifat dzan dan yang demikian tidak dapat diterima sebagai dalil dan hujjah. Karena Allah mencegah orang-orang yang mengikuti dugaan, sebagimana Firman-Nya; 
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.
Selain itu ungkapan yang mereka terima dari sebagian sahabat yang mencela pendapat pribadi dan penetapan hhukum dengan pendapat pribadi. Seperti pendapat umar bin Khathob RA;
إياكم و أصحاب الرأي  فإنهم إعداء السنن أعيتهم الأحاديث أن يحفظوها, فقالوا بالرأي فضلوا و أضلوا ..
“Jauhkanlah dirimu dari orang-orang yangmemikiki pendapat pribadi (dalam hukum), karena mereka adalah musuh sunnah, mereka kepayahan (tidak mampu) menghafal hadits-hadits sehingga mereka melontarkan pendapat pribadinya, maka mereka itu sesat lagi menyesatkan.”
Kelompok keiga, adalah kelompok yang berlawanan dengan dua kelompok yang telah disebutkan di atas. Kelompok ketiga ini, yang kelihatannya ingin menduduki keberadaan qiyas pada posisinya dalam hukum Islam. Al-Ghazali, Abu Zahrah dan Ahmad Hasan misalnya, mereka berpendapat bahwa qiyas bukanlah dalil hukum, melainkan cara, metode atau manhaj dalam menggali han menghasilkan hukum dari dalil nash.[11]
III. PENUTUP
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa proses menetapkan hukum melalui qiyas bukanlah berarti menetapkan hukum dari awal melainkan hanya menyingkap dan menjelaskan hukumnya yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya melalui pembahasan mendalam dan teluti terhadap ‘‘illat dari suatu kasus atau kejadian yang dihadapi. Jika terdapat kesamaan ‘‘illat dengan hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum atas kasus yang dihadapi itu sebenarnya telah ditetapkan oleh nash, hanya saja hukum tersebut baru ditemukan dengan cara analogi atau qiyas.
Sedangkan mengenai kedudukan qiyas sebagai dalil hukum, terjadi perbedaan pandangan diantara ulama ushul fiqih. Dari sejumlah literature, ditemukan bahwa paling tidak terdapat tiga kelompok ulama’ yang berbeda pendapat tentang keberadaan qiyas dan kehujjahannya sebagai hukum Islam.
Sebagian mengatakan bahwa qiyas termasuk sumber bahkan dalil hukum, sebagian mengatakan bahwa qiyas hanyalah metode saja dalam menetapkan hukum. Sementara kelompok yang lain tidak demikian. Namun jumhur ulama ushul telah sepakat bahwa qiyas termasuk salah satu sumber penetapan hukum dalam Islam setelah al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Qiyas harus memenuhi ketentuan syarat-syarat dan rukun yang berlaku untuk bisa dijadikan hujjah. Apabila tidak maka hukumnya tidak sah dan dianggap sebagai qiyas yang  fasid atau menyalahi aturan.
End Note

[1] Lihat, Drs. Romli, Sag, MA, Muqaranah Mazhab fil Ushul, hal 101. lihat pula, Drs. Nasrun Haroen, MA, Ushul Fiqh volume I,  hal 62-63
[2] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hal 52
[3] Baca, Drs. Nasrun Haroen, MA, Ushul Fiqh volume I,  hal 63
[4] Baca, Drs. Romli, SA, MA, Muqaranah Mazhab fil Ushul, hal 104
[5] Tentang syarat-syarat qiyas, baca, Drs. Ramli, SA, Muqaranah mazahib fil ushul, hal, 105-113. lihat pula  Drs. Nasrun Haroen, MA, Ushul Fiqh volume I, hal, 73-76                                          
[6] Baca, Drs. Romli, SA, MAg, Muqaranah Mazahib fil Ushul, hal 111-112
[7] Lihat, Drs. Nasrun Haroen, MA, Ushul Fiqh volume I,  hal, 95-98
[8]  Baca, Op.Cit, hal 133.
[9]  Lihat, Abdul Wahab Khalaf. Ilmu Ushul Fiqh. Hal. 58
[10]  Lihat, Abdul Wahab Khalaf. Op.Cit Hal 54
[11] Baca, Drs. Romli, SA, MAg.  Muqaranah Mazahib fil Ushul. Halaman 134-136