KETENTUAN MEMILIH JODOH DALAM ISLAM


I.        PENDAHULUAN
Setiap perbuatan dan prilaku manusia ada aturannya dalam Islam. Baik dalam berhubungan dengan Allah, dengan alam lingkungan, juga dengan sesame manusia. Dengan demikian fithrah manusia yang suci, sebagai mahluk yang paling sempurna itu dapat terwujud, sehingga martabat kemanusiaannya akan terjunjung tinggi. Semua aturan dan norma yang berlaku dalam Islam itu wajib dijunjung tinggi untuk kelangsungan dan kesejahteraan hidup baik dalam bermasyarakat berbangsa bernegara, terlebih-lebih untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup di alam baka.
Dalam tatanan hubungan kemanusiaan sebagai manusia, Islam telah mengatur berdasarkan dasar-dasar norma yang luhur. Untuk memenuhi kebutuhan biologis dan ketemtraman jiwa manusia, diantaranya Islam mengajarkan umatnya untuk menikah. Adanya dasar-dasar pergaulan dan tatacara hidup berumah tangga merupakan bukti bahwa kehidupan manusia diharapkan benar-benar berbeda dengan binatang. Oleh karena itu setiap muslim harus benar-benar bisa memahami aturan dan nilai-nilai norma yang diterapkan itu. Pemahaman yang benar terhadap suatu dasar hukum hendaknya diruntut secara cermat sehingga bisa menjadi landasan yang benar-benar otentik dan tidak diragukan kebenarannya.  
Dalam makalah ini saya akan uraikan secara khusus mengenai dasar-dasar hukum tentang permasalahan yang menjadi keniscayaan bahwa hampir setiap orang menjalaninya, yaitu tentang bagaiman aturan Islam tentang memilih jodoh dan tahap meminang. Ini sangat penting karena kesalaha dalam memilih yang akan terjadi adalah penyesalan, kesalahan dalam memilih yangakan terjadai adalah kerugian dan ketidak tenteraman dalam mengarungi hidup berumah tangga. Semoga dengan membaca makalah ini tujuan kita membina rumah tangga yang luhur itu dapat kita raih.

II. MOTIV MEMILIH CALON ISTRI
Hadits Rasulullah SAW ;
عَنْ مُسَدد عَنْ يَحْيٰى عَنْ عُبَيْد الله عَنْ أَبيْه عَنْ أَبي هُرَيْرَةَ رَضيَ اللهُ عَنْهُ عَن النبي صلى الله عَلَيْه وَ سَلم قَالَ : تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ ،  لِمَالِهَا وَ لِحَسَبِهَا  وَ لِجَمَالِهَا وَلِديْنِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. [ رواه البخاري]
“Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda : Seorang wanita itu dinikahi lantaran empat hal ; karena hartanya, statusnya, kecantikannya, dank arena agamanya, pilihlah yang memiliki agama niscaya melimpah ruah kedua tanganmu”.
1.      Kajian Sanad
Hadits di atas dinilai shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Musaddad dari Yahya dari Ubaidillah dari ayahnya dari Abu Hurairah Radliyallahu `Anhum.[1]
2.      Tafsir Mufradad
·         الحسب   = status, yaitu kemulyaan nasab, termasuk keturunan orang baik-baik dari jalur nasab maupun kerabat. الحسب  dapat juga bisa berarti profesi atau setatus sosisal yang baik.
·         Yang dimaksud dengan تربت يداك  bukanlah makna yang sebenarnya, tetapi ungkapan ini dugunakan sebagai dorongan atau kecintaan untuk berbuat,[2] atau juga sebagai do’a.[3] maksudnya ialah akan menperoleh semua yang diidamkan.
3.      Sabab Nuzul
Berdasarkan riwayat dari Ahmad dan Muslim, dari Jabir bin Abdullah, berkata ; “Saya menikahi seorang wanita pada msa Rasulullah SAW masih hidup. Lalu beliau bertanya kepadaku , “Ya Jabir, sudah nikahkah anda?” dan aku menjawab “sudah”. “gadis atau janda?”, Tanya beliau selanjutnya, “ janda” jawabku. “Bukankah engkau  sebaiknya mencary pasangan seorang gadis?”. Tanya beliau selanjutnya. “Ya Rasulallah, saya mempunyai beberapa orang saudara perempuan, dan saya takut kehadirannya akan memisahkan saya  dan saudara-saudara saya itu”. Mendengar jawabanku itu, beliau lalu berkata : “ Wanita itu dinikahi karena agama dan kecantikannya. Dan hendaknya engkau memilih yang memiliki agama, niscaya melimpah ruah tanganmu (memperoleh semua yang diinginkan”. [4]
4.      Penjelasan & Munasabah
Hadits di atas menjelaskan bahwa kesukaan dan factor pendorong laki-laki untuk menikahi wanita ialah empat hal; hartanya, kecantikannya, hasabnya, dan terakhir adalah agamanya. Karena itu Rasulullah memerintahkan apabila ia telah mereka dapati baik agamanya maka tidak perlu mempertimbangkannya lagi dengan aspek-aspek yang lain.[5] Imam Nawawi menjelaskan bahwa, makna hadits tersebut yang benar ialah Rasulullah SAW memberitahukan apa yang dilakukan orang-orang dalam kebiasaan ketika memilih calon istri, bahwa motiv yang dimaksudkan dari mereka adalah empat hal tersebut dan terakhir bagi mereka adalah agamanya. Maka Nabi SAW menegaskan; " فاظفر بذات الين! تربت يداك "  pilihlah yang baik agamanya. Bukan berarti yang dimaksudkan hadits itu Rasulullah SAW memerintahkan (keempat hal) itu.[6]
Islam mengajarkan kepada untuk selektif dalam memilih calon istri. Hal ini dimaksudkan untuk kelangsungan hidup dalam berumah tangga yang sakînah, mawaddah wa rahmah sebagaimana yang diinginkan dan tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Oleh karena itu Rasulullah SAW memberikan penjelasan tentang kebisaaan orang-orang dalam memilih calon pendamping hidupnya, dan pada akhirnya beliau memberikan titik tekan yang mesti menjadi perhatian dan prioritas atas yang lain.
Selain itu, Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa Islam memberikan pedoman memilih jodoh yang benar. Telah berlaku kebiasaan di masyarakat pada umumnya bahwa perempuan itu dinikahi karena pertimbangan empat faktor : kekayaannya, pangkat (status sosialnya), kecantikannya, dan kekuatan agamanya. Dalam hal ini Rasulullah SAW menekankan untuk memilih perempuan yang kuat agamanya, dengan demikian akan diperoleh banyak keuntungan. Dalam riwayat ِAn-Nasa’i disebutkan:
أَحْبَرَنَا قُتَيْبَةَ قَالَ ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ أَبِيْ عِجْلَانَ عَنْ سَعِيْدِ المَقْبَرِيِّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ ؟ قَالَ : الَّتِي تُسِرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَ تًطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ وَ لَا تُخَالِفُ فِيْ نَفْسِهَا وَ مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ . (رواه النّسائي)
Tidak dipungkiri bahwa dalam di dalam masyarakat, tidak sedikit orang yang dalam memilih jodoh, mereka hanya karena harta (materi) yang melimpah. Dengan harta itu mungkin ia akan terpenuhi segala kebutuhannya dalam berumah tangga. Akan tetapi harta yang berada pada orang yang tidak berpegang teguh pada agama, tiada ketakwaan dalam dirinya, maka tidak akan bersih dan tidak terjaga hak-haknya, bahkan hanya menjadi bahan kebanggaan dan pada akhirnya akan mendatangkan permusuhan.
Juga ada diantara mereka yang hanya memandang status. Jika ia termasuk orang yang memiliki status, pangkat atau kedudukan tinggi dan terhormat di mata manusia, tetapi tidak memiliki moral agama yang bagus, maka yang yang terjadi adalah kesombongan dan mengagul-agulkan kedudukannya itu. Apalagi ketika suami termasuk golongan yang berstatus lebih rendah daripadanya, maka hanya akan merendahkan martabat dan harga dirinya.
Sedangkan kecantikan sering mendatangkan musibah basar bagi suami. Ini bisa jerjadi ketika kecantikan itu tidak disertai keluhuran budi dan kecantikan hati, lebih-lebih ketika kecantikan itu telah lepas dari control agama. Yang akan timbul hanyalah prasangka dan kecemburuan yang besar bagi suami yang beriman. Demikian pentingnya agama sehingga Nabi melarang seseorang yang menikah hanya karena factor kecantikan, harta atau nasab saja, tanpa memperhatikan agama. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh riwayat Ibnu Majah dari Abu Karib, dari Abdul Rahman Al-Maharibi dan Ja’far bin ‘Aun, dari Al-Afriqy, dari Abdullah bin Yazid, dari Abdullah bin Amru, berkata : Rasulullah SAW bersabda ;
لَا تُزَوِّّجِ النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَلَعَلَّ حُسْنُهُنَّّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ ، وَ لَا لِأَمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُُنَّ أَنْ يُطْغِيَهُنَّ ، وَ لكِنْ تَزَوَّجُوْهُنَّ عَلى الدِّيْنِ ، وَ لَأَمَةٌ سَوْدَاءُ ذَاتُ دِيْنٍ أَفْضَلُ . (رواه مسلم و ابن ماجه)[7]
 “Janganlah kamu menikahi perempuan karena kecantikannya ungkin kecantikan itu akan menjerumuskan kepada kerendahan budi; jangan pula kamu mengawininya karena kekayaan, sebab kekayaan itu mungkin akan menariknya kepada perbuatan tidak pantas; tetapi kawinilah perempuan atas pertimbangan agama, meskipun budak perempuan yang hitam kelam, itu lebih utama dikawini (daripada perempuan merdeka yang tidak kuat agamanya)”.
Dari hadits-hadits tersebut diatas dapat diproleh kesimpulan bahwa memilih jodoh yang tepat menurut ajaran Islam  adalah atas dasar pertimbangan kekuatan jiwa agama, dan ahlak. Karena itu perkawinan bukan semata-mata kesenangan manusiawi, tetapi juga sebagai jalan untuk membina kehidupan yang sejahtera lahir batin serta menjaga keselamatan agama dan nilai-nilai moral bagi anak keturunan. Dalam hal ini berlaku bagi suami maupun istri.[8]
Sekalipun demikian,  perlu diingat bahwa bukan berarti Islam tidak memberikan tempat sama sekali untuk pertimbangan-pertimbangan yang lain. Islam hanya menekankan pertimbang faktor agama dan ahlak memperoleh prioritas utama, baru kemudian yang lain. Yang ideal tentunya apabila keempat faktor di atas bisa didapati semuanya.
2. Kafa’ah (kesepadanan) dalam memilih jodoh
Dalam memilih pasangan dianjurkan adanya kafa’ah. Yang dimaksud kafa’ah di sini ialah; sepadan, sebanding, adanya keserasian atau kesamaan antara suami maupun istri. Dalam hal ini para ulama sepakat akan keharusan kufu’ (sama) dalam hal agama, karena tidak halal pernikahan orang kafir dengan orang Islam. sedangkan mengenai macam-macam cakupan dari kafa’ah - selain agama - ini mereka berbeda pendapat.[9] Bisa kita lihat pada perbedaan mereka di dalam mendefinisikan kafa’ah sebagai berikut;
a.       Hanafiyah : mengatakan bahwa, yang dimaksud kafa’ah ialah keserasian seorang suami dengan istri  dalam hal-hal tertentu yang menliputi : nasab, mata pencaharian, keagamaan dan harta kekayaan. Menurutnya orang itu dipilah kepada dua kelompok, yaitu Arab dan ‘Ajam, dan Arab sendiri dibagi menjadi dua yaitu Quraisy dan non- Quraisy. Jika terjadi persilangan antara hal-hal tersebut maka tidaklah dikatakan kufu’.
b.      Malikiyah berpendapat bahwa kafa’ah dalam pernikahan ialah kesamaan dalam dua hal yaitu; dalam keagamaan dan dengan hak perempuan, bukan wali. Dalam hal ini sang istri boleh meninggalkan kafa’ah, tetapi jika ia tidak dipercaya bisa menjaga dirinya maka hakim boleh menolaknya, sekalipun ia rela dengan keberadaan calon suami.
c.       Hanabilah mengatakan, kafa’ah yaitu kesamaan dalam lima hal yaitu, agama; pekerjaan atau keterampilan; penghasilan harta sekiranya cukup untuk mahar dan nafaqah; kemerdekaan; dan nasab, maka orang ‘ajam tidaklah kufu’ dengan orang ‘Arab. Jika seorang wali menikahkan anaknya dengan suku bangsa lain yang tidak kufu’ tanpa kerelaannya (anak pr.) maka ia (wali) itu berdosa.
d.      Syafi’iyah, memberikan pernyataan bahwa, kafa’ah ialah hal-hal yang dengan tidak adanya hal tersebut dipastikan akan timbul cacat atau ketimpangan. Batasannya adalah kesamaan dengan istrinya itu dalam kesempurnaannya yang menghindarkan dari cacat-cacat dalam perkawinan. Kafa’ah juga terdapat dalam empat hal, yaitu ; nasab, agama, kemerdekaan, dan mata pencaharian.[10] Mengenai masalah nasab, Imam Syafi’i menyatakan bahwa pernikahan yang tidak sepadan (kufu’) antara suami dan istri tidaklah menjadikan pernikahannya itu haram lalu tidak sah, akan tetapi selagi calon istri atau walinya setuju atau rela maka sah pernikahannya, karena mereka berhak untuk tidak mengutamakan masalah nasab itu.[11]
B. Meminang (khithbah)
1. Perempuan yang boleh dan tidak boleh dipinang
Setelah mantap dalam hati akan wanita piihan yang hendak dinikahi, maka jalan yang ditempuh selanjutnya adalah meminang. Meminang bisa dilakukan dengan terang-terangan, juga bisa dengan sindiran. Dalam hal ini Islam telah mengaturnya, ada batasan-batasan wanita yang boleh di pinang. Perempuan boleh dipinang apabila memenuhi dua syarat yaitu;
a. Tidak terdapat halangan syara’ ketika akan dikawini oleh laki-laki yang meminang. Seperti tidak ada hubungan mahram, tidak dalam hubungan perkawinan dengan laki-laki lain, atau tidak sedang menjalani ‘iddah raj’i.
b. Wanita itu tidak sedang dalam pinangan orang lain.
Yang menjadi dasar atas larangan ini adalah hadits-hadits Rasulullah SAW sebagai berikut :
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يبيع الرجل على بيع أخيه و أن يخطب الرجل على خطبة أخيه حتى يترك الخاطب قبله  أو يأذن له الخاطب. [رواه البخاري]
Dari Ibnu Umar RA berkata : “Rasulullah SAW melarang seseorang membeli barang dalam belian saudaranya, dan meminang atas pinangan saudaranya sehingga ia yang melamar sebelumnya melepaskan atau ia memberi izi kepadanya”.(HR. Bukhari)
 عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : لا يبع الرجل على بيع أخيه ولا يخطب على خطبة أخيه إلا أن يأذن له [رواه مسلم]
Dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW bersabda : “Janganlah seorang laki-laki membeli atas barang yang dibeli oleh saudaranya, dan janganlah ia meminang atas pinagan saudaranya kecuali telah diizinkan untuknya” (HR. Muslim)
- Kajian Sanad Hadits
kedua hadits di atas dinilai shahih. Dinukil oleh rawi yang terpercaya. Yang pertama di riwayatkan oleh Imam Bukhari. Yang kedua, hadits senada diriwayatkan oleh Muslim dari Zuhair bin Harb dari Yahya dari Abdillah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah Radliyallahu `anhum, dengan jalan yang bagus.[12]
- Kata-kata Istilah
kata أخ (saudara) dalam hadits di atas tidaklah difahami juga mengenai pinangan si fasik atau orang kafir. Ketentuan ini hanya berlaku khusus untuk sesame muslim, karena pada hakikatnya sesama muslim itu إخوة (bersaudara).
- Penjelasan Hadits
Dalam hadits ada dua hal yang mana Rasulullah melarangnya, yaitu membeli atau menjual barang yang masih dalam proses akad sesseorang kepada orang lain. Yang kedua larangan meminang orang yang masih dalam pinagan orang lain. Dengan demikian jelas bahwa meminang wanita yang sedang dalam pinagan orang lain haram hukumnya. Para ulama sepakat mengharamkan hal tersebut apabila pinagan itu telah diterima si wali, kalau wanita itu masih gadis (bikr) dan penerimaan si wanita itu sendiri kalau ia sudah janda. Atau penerimaan kedua-duanya kalau si laki-laki itu tidak kufu’.[13] Karena itu jika seseorang melamar lalu menikah dengan wanita yang dalam pinangan orang lain maka ia berdosa.
Menurut Jumhur ulama nikah tersebut sah. Daud Azdhahiri berpendapat, nikah yang seperti itu tidak sah dan harus difasakh. Segolongan ulama Malikiyah berpendapat, difasakh kalau belum di-dukhul. Tetapi kalau belum jelas pinangan itu diterima, maka pendapat yang kuat dari mazhab Syafi’i tidaklah haram.[14]
2. Melihat perempuan yang dipinang
Apabila seseorang meminang seorang perempuan, dan merasa harus dapat melihat hal-hal yang menarik untuk mengawininya, maka hal itu boleh ia lakukan. Berdasarkan kisah Mughirah bin Sufyan ketika meminang seorang perempuan, dimana beritanya sampai kepada Rasulullah SAW, kemudian Mughirah mengatakan bahwa ia belum melihatnya; lantas Rasulullah SAW bersabda ; “ lihatlah dulu perempuan itu, sebab melihat perempuan yang akan dipinang itu lebuh menjamin kelangsungan perkawinan kamu berdua”. Dalam hadits riwayat lain disebutkan ;
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : أن النبي صلى الله عليه و سلم قال لرجل تزوج امرأة : أنظرت إليها؟ قال : لا : إذهب فانظر إليها .
Dari Abu Hurairah RA. Berkata : sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda kepada seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang perempuan, beliau bertanya : “Apakah engkau sudah melihatnya?” Laki-laki itu menjawab : belum, maka Nabi memerintahkan : “pergi sana dan lihatlah dia”. (HR. Tirmidzi)
Dalam riwayat lain disebutkan ;
عن جابر رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر منها إلى ما يدعو إلى نكاحها فاليفعل . [رواه أحمد و أبو داود]
Dari jabir RA. Berkata : Rasulullah SAW bersabda : “jika salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan, kalau bisa melihat darinya apa yang mendorong untuk menikahinya maka lakukanlah”.
Mengenai bagian mana yang boleh dilihat, mayoritas ulama berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangannya saja. Dawud dan  penganut Mazhab Dhairi berdasarkan hadits diatas mengatakan bahwa laki-laki yang meminang boleh melihat  seluruh bagian tubuhnya.[15] Dalam hal ini haruslah digunakan akal yang jernih, yang lebih mendekatkan pada nilai-nilai kepatutan dan kesopanan serta norma-norma agama. Apabila sebelum meminang laki-laki melihat pada diri perempuan sesuatu kang tidak menarik hendaklah ia diam saja dan tidak membicarakan kekurangan  itu kepada orang lain. Ketentuan ini juga berlaku bagi perempuan terhadap laki-laki yang akan meminangnya.
Wllahu a’lam bisshawab.
DAFTAR PUSTAKA
1.                Bukhari, Imam, Shahih Al-Bukhari, juz VII, Beirut, Dar al-Fikri, 1999.
2.                Abdul Aziz Al-Khuli, Muhammad Al-Adab Al-Nabawi, Surabaya, Syirkah Bangul Indah, 2002.
3.                Al-Suyuthi, Jalaluddin, Asbab Wurud Al-Hadits, edisi  Indonesia, cet. I, .Bandung, Pustaka, 1985.
4.                Kamaluddin, Ibrahim bin Muhammad, Al-Bayan wa Al-Ta’rif fi Asbab Al-Wurud, juz II, cet. I, Beirut, Al-Maktabah Al-Ilmiah, 1982
5.                Abdussalam, Abu Abdillah, Ibanat Al-Ahkam Syarh Bulugh Al-Maram, juz III (Beirut : Dar Al-Fikri, 2004),
6.                Al-Jaziri, Abdul Rahman, Al-Fiqh `Ala Mazahib Al-Arba`ah, juz IV, Beirut, Dar Al-Fikri, 2005.
7.                Assiddiqi, T.M. Hasbi, 2002 Mutiara Hadits,  Jilid V, cet. I, Jakarta, Bulan Bintang, 1977.
8.                Azhar Basyir, Ahmad, KH., Hukum Perkawinan Islam, Cet. XI, Yogyakarta, UII Press, 2007
End notes:
[1]  Imam Bukhari, Shahih Al-Bukhari, juz VII, (Beirut : Dar al-Fikri, 1999), hlm. 12
[2] Catatan kaki Shahih Al-Bukhari, ibidem, hlm 12
[3] Muhammad Abdul Aziz Al-Khuli, Al-Adab Al-Nabawi, (Surabaya : Syirkah Bangul Indah, …), hlm. 243
[4] Jalaluddin Al-Suyuthi, Asbab Wurud Al-Hadits, edisi  Indonesia, cet. I, (Bandung : Pustaka, 1985), hlm, 182. Bandingkan, Ibrahim bin Muhammad Kamaluddin, al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Al-Wurud, juz II, cet. I (Beirut : Al-Maktabah Al-Ilmiah, 1982), hlm. 17
[5]  ……., Subul As-Salam : Syarh Bulugh al-Maram min Jam’i Adillah al-Ahkam, Juz III, (Kairo Al-Azhar : Maktabah al-Iman, 1994), hlm. 181
[6] Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jilid V, juz X, (Beirut Libanon : Dar al-Fikri, 1423/2004), hlm. 44-45
[7] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah : Hadits  Nomor 1859, Jilid I, (Beirut : Dar al-Fikri, 1415/1995), hlm. 584.
[8] KH. Ahmad Ahmad Basyir, Hukum perkawinan Islam, cet. XI, (Yogyakarta : UII Press, 2007), hlm. 16
[9] Abu Abdillah Abdussalam, Ibanat Al-Ahkam Syarh Bulugh Al-Maram, juz III (Beirut : Dar Al-Fikri, 2004), hlm. 279
[10] Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh `Ala Mazahib Al-Arba`ah, juz IV, (Beirut : Dar Al-Fikri, 2005), hlm. 44-49
[11] Abu Abdillah Abdussalam, Ibanat Al-Ahkam Syarh Bulugh Al-Maram, hlm. 280
[12] Imam Muslim, Shahih Muslim, juz I (Beirut : Dar Al-Fikri, 1993), hlm. 467
[13] T.M. Hasbi Assiddiqi, 2002 Mutiara Hadits,  Jilid V, cet. I, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1977), hlm. 177-178.
[14] Hasbi Assiddiqi, 2002 Mutiara Hadits,  hlm. 182
[15] KH. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 22