POLIGAMI VS. MONOGAMI    I.   LATAR BELAKANG
Venomena menikah lebih dari seorang istri (poligami) sudah berlangsung jauh sebelum Nabi Muhammad SAW. Islam bukan satu-satunya ajaran yang membolehkan poligami. Hal ini sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an ;
Artinya: “Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu).” (QS. Ar-Ra’d : 38)
Bagi tiap-tiap Rasul itu ada kitabnya yang sesuai dengan keadaan masanya. Al-Qur’an sendiri tidak memerintah, apalagi mewajibkan poligami, dan tidak memberikan kesempatan yang longgar kepada kaum Muslimin untuk berpoligami. Al-Qur’an menyebutkan kebolehan berpoligami, menekankan adanya persyaratan adil, selain ada terkesan memberikan batasan jumlah istri yang boleh dinikahi (satu, dua, tiga atau empat), bahkan juga dikaitkan dengan kesungguhan mengurus anak yatim. Sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat 3 ;
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Ayat inilah diantaranya yang menjadi bahan kajian para ulama untuk menguak masalah hukum poligami dengan berbagai sudut pandangnya yang mendalam, hingga melahirkan sebuah aturan hukum serta undang-undangan dalam masyarakat. Demikian peliknya masalah poligami ini hingga harus diatur dalam perundang-undangan pada tingkat  Negara.
II.     PEMBAHASAN
A.    Poligami Dalam Kitab-kitab Fikih Konvensional
Pologami adalah seorang suami menikahi lebih dari seorang iseri. Dalam Islam pernikahan seperti ini dibolehkan dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi, baik dari pihak suami sendiri maupun istri. Keharusan berlaku adil adalah syarat yang paling banyak dimunculkan dalam kitab-kitab fiqih untuk bolehnya berpoligami. Syarat inilah memang yang secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya: “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
(QS. An-Nisa’ : 3)
Juga didasarkan pada riwayat dari ‘Aisyah yang menceritakan perlakuan yang adil dari Nabi SAW ;
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْدِلُ فِي الْقِسْمَةِ بَيْنَ نِسَائِهِ وَ كَانَ يَقُوْلُ اللّٰهُمَّ هٰذا قِسْمِيْ فِيْمَا أَمْلِكَ فَلَا تَأْخُذْنِيْ فِيْمَا لَا أَمْلِكُ . يَعْنِيْ بِزِيَادَةِ الْمَحَبَّةِ لِبَعْضِهَا. (رواه أبو داود)
Dari ‘Aisyah RA, sesungguhnya Nabi SAW berlaku adil dalam memberikan bagian diantara istri-istrinya, beliau berdoa : Ya Allah ini adalah bagian yang aku miliki maka janganlah engkau alihkan aku pada bagian yang bukan milikku”. Yakni dengan tambahnya rasa cinta kepada sebagian istrinya. (HR. Abu Dawud)
Rasulullah SAW memberikan ancaman terhadap suami yang tidak berlaku adil terhadap para istrinya ;
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ فَمَالَ إِلَى أَحَدِهِم  فِيْ الْقِسْمِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَ أَحَدُ شَاقَيْهِ مَائِلاً . (رواه أبو داود و النّسائى و ابن ماجة و أحمد)
“Dari Abi Hurairah RA sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Barang siapa yang mempunyai dua orang istri lalu ia lebih condong pada salah satunya dalam memberikan bagian, maka ia akan datang pada hari kiamat kelak salah satu betisnya dalam kedaan miring (pincang)”.
Demikian cukup sebagai landasan bahwa mampu bersikap adil sebagai syarat berpoligami yang utama sebagaimana yang ditulis oleh As-Sarkasyi (w. 483/1090) dalam karyanya al-Mabsut, juga Al-Kasani (w. 587/1191) dari Madzhab Hanafi.[1]
Al-Qur’an tidak memerintah, apalagi mewajibkan poligami, dan tidak memberikan kesempatan yang longgar kepada kaum Muslimin untuk beristri lebih dari seorang. Diantara sebab yang membolehkan seorang pria berpoligami diantaranya yaitu:
a)      Istri tidak dapat melahirkan keturunan, sementara suami sangat menghendakinya.
b)      Banyak wanita yang tidak menikah karena jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki.
c)      Wanita janda yangditinggal wafat suaminya, sedang ia perlu sekali mendapatkanpertolongan, baik untuk dirinya maupun anak-anaknya yang telah menjadi yatim dan tidak dapat ditempuh dengan jalan lain kecuali dengan menikahinya.
d)     Istri yang sudah diceraikan perlu (ingin) rujuk atau kembali menikah padahal suaminya sudah menikah dengan orang lain.
e)      Seorang pria yang sudah beristri jatuh cinta kepada wanita lain yang tidak dapat dihindarinya, kalau tidak dinikahinya khawatir terjerumus kepada perzinaan.
f)       Sebab lain yang menurut pertimbangan yang masak bahwa poligami merupakan satu-satunya jalan yang halal dan dapat ditempuh.[2]
Dalam hal ini juga harus menghayati firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ (4) ayat 129 ;
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa’ : 129)
Berkenaan dengan poligami, Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwattha’ nya sebuah kisah seorang pria bani Tsaqif yang masuk Islam dan mempunya istri sepuluh, dalam hal itu Nabi menyuruh untuk mempertahankan maksimal empat, dan menceraikan yang lain. Sebagaimana yang beliau riwayatkan dari Ibnu Syihab ;
انَّهُ قَالَ، بَلَغَنِي أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ مِنْ ثَاقِفٍ اَسْلَمَ وَ عِنْدَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ حِيْنَ أَسْلَمَ : اَمْسِكْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا وَ فَارِقْ سَائِرَهُنَّ . (رواه مالك)
Bahwa Ibnu Syihab berkata, telah sampai kepadaku (kabar) bahwa Rasulullah SAW berkata kepada seorang laki-laki dari bani Tsaqif yang masuk Islam sedangkan ia mempunyai sepuluh orang istri ketika masuk Islam : “Pertahankanlah empat dari mereka dan ceraikan yang lain”. (HR. Malik)
Imam Syafi’i (150-204/767-819) membolehkan seorang muslim mempunyai istri lebih dari satu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Selain didasarkan pada surat An-Nisa’ ayat (4) : 3 sebagaimana tersebut di atas, juga didasarkan pada; surat Al-Ahzab (33) ayat 50, yaitu berhubungan dengan giliran atau pembagian malam para istri, nafkah, dan kewarisan:
Artinya: “Hai nabi, Sesungguhnya kami Telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Ahzab : 50)
Surat Al-Mu’minun (23) ayat 5-6; yang berhububgan dengan menjaga kemaluan, bolehnya bersenang-senag (taladzdzudz) dengan farji istri dan budak, [3] dan tidak boleh dengan jalan yang tercela (haram) :
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki,  maka sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa”. (Al-Mu’minun : 5-6)
Sementara hadits yang dijadikan landasan oleh Imam Syafi’i atas bolehnya poligami, selain hadits yang tersebut di atas, juga diantaranya riwayat dari Ibnu Umar RA ;
أََنَّ غَيْلاَنْ بْن سَلاَمَةَ أَسْلَمَ وَ عِنْدَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَمْسِكْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا وَ فَارِقْ سَائِرَهُنَّ . (رواه الترميذي و ابن ماجة و احمد)
“Bahwasannya Ghailan bin Salamah masuk islam sedangkan ia mempunyai istri sepuluh, maka Nabi SAW bersabda : “Pertahankanlah empat dari mereka dan ceraikan yang lain”.  (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Menurut As-Syafi’i, tuntutan harus berbuat adil diantara istri-istri berhubungan dengan urusan fisik. Hal ini didasarkan pada prilaku Nabi dalam berbuat keadilan terhadap para istrinya. Sedangkan mengenai keadilan dalam hati, menurut As-Syafi’i hanya Allah yang mengetahuinya. Oleh karena itu mustahilnya berbuat adil sebagaimana yang diisyaratkan dalam surat An-Nisa’ (4) : 129 di atas adalah berhubungan dengan keadilan hati;
Demikian hati tidak mungkin berbuat adil, sementara keharusan yang dituntut jika seseorang beristri lebih dari sati adalah berbuat adil dalam bentuk fisik, yakni dalam perkataan dan perbuatan. [4] Keadilan dalam urusan fisik ini yang dituntut pula dalam surat Al-Ahzab (33) : 50, Al-Baqarah (2) : 228, dan An-Nisa’ (4) : 19 ;
Artinya: ...Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
...Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Berdasarkan ayat-ayat ini seorang yang mempunyai lebih dari seorang istri wajib membagi malam-malamnya secara adil. Suami tidak boleh masuk kamar istri yang bukan gilirannya tanpa ada kepentingan. Kalaupun ada kepentingan cukuplah sekedar kepentingannya, tidak boleh bermesraan. Kendati jika istri sakit, suami tidak boleh mengunjunginya pada malam hari kecuali sangat kritis atau meninggal. Tidak ada bedaya antara istri yang sehat dan yang sakit dalam memberi giliran (kecuali sakit gila), dan yang dimaksud giliran di sini bukan berarti harus berhubungan badan, karena itu istri yang sedang haid pun juga mendapat giliran. Demikian pula kira-kira ketika suami memberikan nafkah materi (papan, sandang dan pangan). As-Syafi’i menyebutkan bahwa perlakuan adil suami ketika berpoligami adalah wajib dan merupakan hak bagi istri.
Ibnu Qudama (w 630 H) dari Madzhab Hambali berpendapat bahwa, seorang laki-laki boleh menikahi wanita maksimal empat, berdasarkan ; (i) surat An-Nisa (4) : 3, (ii) kasusnya Ghailan bin Salamah, dan kasusnya Naufal bin Muawiyah.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa, sekalipun menggunakan dasar yang berbeda-beda, para ulama tradisional mengakui bahwa poligami itu boleh hukumnya, bukan dianjurkan (sunnah), apalagi wajib. Semua ulama tersebut menyatakan bolehnya poligami maksimal empat berdasarkan surat An-Nisa (4) : 3.
Sementara berbagai dalil  tambaha yang digunakan landasan, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits, berdasarkan surat An-Nisa (4) : 3 tersebut hanya Imam Syafi’i yang menyimpulkan bahwa keadilan yang dituntut Al-Qur’an adalah keadilan dalam hal-hal yang berhubungan dengan fisik (sandang, papan, pangan, giliran, dsb.). Sementara mustahilnya seorang suami dapat berlaku adil yang ditegaskan surat An-Nisa (4) : 129 adalah pada hal-hal yang bersifat batin atau non fisik (seperti, cinta dsb.). Dengan demikian kalau seorang dapat belaku adil dalam memenuhi kebutuhan fisik maka boleh ia poligami.[5]
Dalam kenyataan memang banyak prakteknya poligami yang semula dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan sosial dan mengangkat derajat kaum wanita, tetapi justru melahirkan permasalahan baru dalam keluarga, bahkan tidak sedikit kenyataan timbulnya persoalan-persoalan yang merendahkan martabat wanita. Oleh karena itulah Islam membuat ketentuan-ketentuan yang musti dipatuhi oleh mereka yang melakukan poligami. Tidak hanya poligami yang banyak dipraktekkan secara salah tetapi monogami pun juga banyak yang dipraktekkan tidak sesuai dengan aturan yang ada.
B.     Poligami Dalam UU Perkawinan Islam Indonesia
Secara garis besar, bahwa prinsip dasar perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah monogini/monogami.[6] Meskipun demikian tetap ada kemungkinan bagi suami untuk berpoligami[7] dengan dibatasi maksimal empat,[8] Kemungkinan untuk dapat berpoligami itu harus mendapat izin pengadilan.[9] Sebaliknya tanpa izin pengadilan perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum,[10] tersebut pada ayat Sementara PNS yang akan berpoligami harus mendapatkan izin terlebih dahulu  dari pejabat terkait.[11]
Ketentuan izin berpoligami
Apabila  seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Kemudian pengadilan melakukan pemeriksaan mengenai hal :
a.       Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan suami tersebut kawin lagi, yaitu;
i.         bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
ii.       istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
iii.     istri tidak dapat melahirkan keturunan.
b.       Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetuajuan secara lisan maupun tertulis. Jika persetujuan lisan maka harus diucapkan di depan sidangpengadilan.
c.       Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup sehari-hari istri-istri dan anak-anak dengan memperhatikan:
i.         surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
ii.       surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii.     surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
d.      Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pertanyaan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal di atas, pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. Pemeriksaan itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri kebih dari satu orang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.
Pegawai pencatatan nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari sa tu sebelum adanya izin pengadilan seperti yang telah dijelaskan di atas.[12]
III. KESIMPULAN
Sebenarnya tujuan dari peraturan tentang poligami dalam Islam itu diantaranya ialah untuk menyelamatkan dan menolong kaum wanita, sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah SAW terhadap istri-istri beliau. Al-Qur’an surat An-Nisa’ (4) : 3 berfungsi memberikan batasan serta syarat yang ketat, yaitu batasan maksimal empat istri dengan ketentuan mesti berlaku adil. Artinya tidak boleh ada anggapan bahwa Al-Qur’an mendorong poligami, tetapi justru memberikan jalan keluar apabila dalam suatu keadaan terpaksa seorang harus memilih antara perzinahan dan poligami, atau antara membiarkan wanita terlantar dan sengsara tak bisa nikah dan menjadi istri kedua.[13]
Bahwa perundang-undangan perkawinan di Indonesia tentang poligami berusaha mengatur agar laki-laki yang hendak beristri lebih dari seorang hendaklah benar-benar (i) mampu secara ekonomi dalam menghidupi dan memenuhi kebutuhan secara fisik (pangan, sanndang, dan papan) untuk para istri dan anak-anak. (ii) mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya sehingga para istri dan anak-anak tidak ada yang tersia-siakan setelah melakukan poligami.
Perundang-undangan di Indonesia berusaha untuk menghargai istri sebagai pasangan hidup suami. Hal ini terbukti ketika suami hendak berpoligami diharuskan minta izin atau persetujuan dari istri. Untuk tujuan ini semua perundang-undangan di Indonesia memberikan kepercayaan yang sangat besar terhadap Hakim di Pengadilan Agama. Dengan demikian peran Hakim sangat penting dalam menerapkan dan terlaksananya aturan pologami.
Aturan masalah perkawinan dalam kitab-kitab konvensional Islam dan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Islam kontemporer di Indonesia terdapat hubungan yang erat  dan tidak jauh berbeda. Perlunya ketetapan mengenai masalah perkawinan - dalamhal ini poligami – yang bisa mengikat secara legal baik formil maupun materil telah terjawab dengan adanya  Undang-undang  No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Faridl, Miftah, KH, Drs, 150 Masalah Nikah & Keluarga, Jakarta, Gema Insani, 1999.
Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta, Indonesia Netherland Cooperation in Islamic Studies, 2002.
Undang-undang  No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung, Citra Umbara, 2007

[1] Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta : Indonesia Netherland Cooperation in Islamic Studies, 2002), hlm. 103
[2] KH. Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah & Keluarga, (Jakarta : Gema Insani, 1999), hlm. 134
[3] Maksudnya: budak-budak yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan bisaanya dibagi-baِgikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebisaan ini bukanlah suatu yang diwajibkan. Imam boleh melarang kebisaaan ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[4] Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, hlm. 104-105
[5] Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, hlm. 107
[6] UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 3 ayat (1), “Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”
[7] UU No. 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2), “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk bristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
[8] KHI pasal 55 ayat (1), “Beristri lebih dari satu orang pada waktubersamaan, terbatas sampai empat istri”
[9] UU No. 1 tahun 1974 pasal 3 ayat (2), “Suami yang hendak beristri lebih dari satu harus mendapat izin dari Pengadilan Agama”.
[10] KHI pasal 56 ayat (3), “Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat  tanpa izin dari Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum”.
[11] PP No.45 tahun 1990 pasal 4 ayat (1), “Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin dahulu dari pejabat”.
[12] Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan : BAB VII ; Beristri lebih dari satu ; pasal 40, 41, 42, 43, 44.
[13] KH. Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah & Keluarga, hlm.131